Oleh Ayu Maslahah
Sebelum membahas
sejarah tauhid di dalam Islam lebih baiknya kita membahas terlebih dahulu
tentang tauhid. Dalam konsepsi Islam, tauhid adalah dasar agama ini yang
mencakup dan mempersatukan seluruh agama samawi. Disebutkan dalam sumbernya
yang pertama, yaitu Al-Qur’an, bahwa tauhid adalah dasar dalam seluruh agama samawi.
Nabi Ibrahim adalah sebagai bapak para nabi sebelumnya yang membawa risalah dan
yang tetap berdiri di atas tauhid, begitu pula Nabi Nuh, Hud, Syu’aib, dan
Luth, Ya’qub, Ishaq dan anak cucunya serta Yusuf. Semua ini menyeru kepada
tauhid yang merupakan dasar risalah mereka. Risalah Musa dan Isa berdiri di
atas tauhid. Al-Qur’anul Karim telah mencatat hal itu dalam kisah-kisah yang
diberitakan langsung dari para Rasul yang mulia ini. Allah berfirman
menjelaskan kesatuan risalah ilahiah:
Artinya : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). Dan mereka (ahli Kitab) tidak
berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena
kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah
ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang
ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang
yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka,
benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu
(Q.S. Asy-Syura: 3-14).
Sesungguhnya agama
tauhid yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya, agar mereka menegakkan
dan tidak berselisih namun bagi kaum musyrikin amatlah berat untuk diajak ke
agama tauhid. Agama tauhid itulah yang diperselisihkan oleh orang-orang yang
diwarisi (diberi) Al-Kitab yang dibawa oleh nabi-nabi mereka. Mereka
menimbulkan keraguan di sekitarnya dengan khayalan-khayalan yang menguasai
mereka dan pikiran-pikiran yang mereka adakan sendiri tanpa hujjah (dasar) dari
Allah.
Jelaslah kini,
bahwa tauhid adalah agama nabi-nabi semuanya dan ia adalah kesatuan yang
mengumpulkan semua rangkaian risalah Allah SWT kepada makhluk-Nya. Orang-orang yang
mengaku beragama samawi dan berdiskusi mempersoalkan keesaan Allah, hendaknya
meneliti dengan pikiran jernih dan bebas dari segala khayalan yang lahir dari
aqidah asal mereka, disertai penyelidikan sejarah yang benar. Maka mereka akan
mendapatkan fakta yang sebenarnya tanpa keraguan sedikit pun dan akan
meninggalkan setiap sesuatu yang meragukan.
Sebenarnya dalam
konsep Islam, tauhid dalam hal pembersihan dan pemurnian sampai pada batas
dimana ungkapan bahasa dan imajinasi akal pikiran tidak mampu memberikan
balasan hakikat, esensi dan substansi Dzat Ilahi. Oleh karena itu, tidak ada
jalan lain oleh manusia untuk mendekatkan diri dari penggambaran yang lebih
detail terhadap keesaan ini, daripada meniadakan penyerupaan dan penyamaan,
membersihkan penyerupaan terhadap pada semua makhluk. Karena tingkatan yang
paling dapat dicapai akal muslim pada tangga penggambaran Dzat Ilahi adalah
sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya :
“Tidak ada satu pun yang serupa dengan
Dia”.
“Katakanlah: Dialah Allah, Yang
Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia
tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang
setara dengan Dia”.
Adapun formulasi
manusia yang detail yang menggambarkan realita ini adalah ucapan salaf :
“Setiap yang bertindak dalam hatimu, maka Allah bukanlah seperti itu”.
Berpedoman
dengan ini kita menerima dan beriman kepada sifat-sifat yang Allah sendiri mendiskripsikan diri-Nya dan kita
menghambakan diri ketika kita mensucikan-Nya yang maha indah, mengakui keesaan
Allah dalam ciptaan, pemeliharaan, pengayoman dan pemberian nikmatnya. Demikian
pula keesaan-Nya dalam rububiyah-Nya yaitu membebaskan manusia dari
menghambakan diri kepada selain Allah, baik yang berupa thaaghuut, benda,
kekuasaan, materi, kekuasaan, ataupun imajinasi. Keyakinan seperti ini mengandung
substansi pembebasan dan nilai pembebasan yang melepas setiap ikatan manusia
ketika mengkhususkan penghambaan dirinya kepada Dzat Ilahi yang dalam
penggambaran-Nya jauh lebih mengungguli materi. Dan syariahnya juga bertujuan membebaskan
manusia ini dan melepas segala macam belenggu dan ikatan yang mengikat akalnya
dan melemahkan langkahnya !
Konsepsi Islam
tentang tauhid telah meneliti Dzat Ilahi secermat mungkin dan dalam
pembersihan-Nya dari penyerupaan dan penyamaan hakikat akal muslim menyingkap
keesaan Dzat Ilahi. Tanpa adanya persekutuan dari apa dan siapapun, setiap yang
selain Allah hidup berpasangan, berkumpul, dan bersekutu, penompang kehidupan
yang berada di alam semesta ini dapat dikatakan sebagai benda hidup adalah
berdasarkan kaidah dan falsafah berpasangan:
“Dari masing-masing
binatang sepasang (jantan dan betina)”.
Begitu juga yang
artinya :
“Maha suci
Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka maupun dari apa yang mereka tidak ketahui”.
Juga berdasarkan
kebersamaan, kolektif, saling menompang, saling membantu dan bermasyarakat.
“Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kamu”.
Adapun Allah Sang
Pencipta, Dia sendiri terjauhkan dari sifat berpasangan, dan persekutuan
terjauhkan dari penyerupaan atau persamaan dari kebutuhan dan perkumpulan.
Dengan tauhid ini metode Islam memiliki bagian yang menjadi istimewa, yang
membedakannya dari setiap metode, syariah, agama, dan filsafah yang bukan
islami, dan kesadaran pada kenyataan ini mengajak orang-orang yang intens
kepada hal-hal yang serba islami untuk mengimplementasikan bagian ini agar
pandangan yang buram menjadi tenang. Hal itu memaksudkan agar tidak menghapus
kemurnian tauhid dan pembersihan Islam dan agar karakteristik ini tetap menjadi
salah satu karakteristik metode Islam, yaitu karakteristik tauhid pembersihan
yang efektif dengan segala potensinya dalam membebaskan manusia dari
penghambaan kepada selain Allah. Maka ia adalah karakteristik dalam metode
kultural, memegang peranan utama dalam memformulasikan manusia menjadi merdeka
dan bukan sekedar masalah teori yang aktivitasnya terbatas pada konsepsi
manusia terhadap Dzat Allah.
Pertama adalah
pandangan yang buram, kemudian penyimpangan yang menimpa akidah tauhid dalam
agama Kristen, baik yang bersumber dari aliran kebatinan, gnostisisme dari
timur atau materialisme paganisme yang berakal dari kepercayaan Romawi-Yunani,
sebagai permulaan kebutuhan konsepsi Nasrani terhadap kemurnian akidah tauhid.
Satu hal yang menundukkan agama Nasrani dalam konsepsi Barat bahkan juga Timur
sejak kekalahan tauhid dalam ketuhanan gereja Timur dan diwakili oleh Arius
(meninggal tahun 335 M) setelah doktrin Arianisme dinyatakan salah dalam rapat Dewan
Gereja di Konstantinopel pada tahun 138 M. Permulaan tersebut adalah merupakan
akhir hubungan antara agama Kristen dengan kemurnian dan gerejanya, dan secara
otomatis juga manusianya sendiri karena ia kini menyembah materi, harta, benda
dan kekuasaan pendeta. Maka akhirnya agama ini hanya menjadi catatan kaki dalam
kultur Barat yang berkarakter misterius yang masih banyak dipengaruhi oleh
sisa-sisa paganisme Yunani kuno, sehingga benarlah apa yang dikatakan al-Qadir Abdul
Jabbar bin Ahmad (415 H/ 1024 M) ketika melihat terjadinya perubahan yang
menimpa kristen Timur Selatan mengekor ke Barat, ia mengatakan : “Ketika agama
Kristen masuk ke Roma, kota tersebut tidak masuk Kristen, akan tetapi agama
Kristen inilah yang menjadi pengikut Roma”.
Dukungan pertama
yang paling besar dan kekal yang melindungi manusia dari kelemahan dan berserah
diri kepada kekuatan insting dan syahwat yang timbul dalam dirinya dan kepada
kekuasaan materi dan kesewenang-wenangan yang terdapat di sekitarnya adalah
keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, satu kekuatan yang berada di atas segala
kekuatan, bahkan yang menciptakan dan mengalahkan setiap kekuatan yang terdapat
di alam semesta. Di sini, dengan pengertian ini, taihid dalam uluhiyyah
kesaksian La ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) dan seruan Allahu
Akbar (Allah Maha Besar) menjadi kekuatan yang Maha Besar dan kekal
efektivitasnya dalam memerdekakan manusia dan dalam melepas belenggu insting,
syahwat, benda dan thaghut.
Demikian
pengesaan Allah SWT dalam uluhiyah dan rububiyah menjadi sebuah kekuatan yang
luar biasa yang kekal efektivitasnya, mendorong umat Islam dan membantu anggota
masyarakatnya manakala mereka menyadari hakikatnya dan menyingkap kabut gelap
yang menghalangi pandangan-Nya, mendorong dan membantu mereka dalam menghadapi supremasi
kekuatan luar yang menjajah luar dunia Islam dan umatnya, merampas pemikiran,
dan sektor ekonomi menggabungkan kekuatan militer dan menjadikannya sebagai
pengekor kebijaksanaan politiknya. Juga membantu mereka dalam menghadapi
thaghut, thaghut yang selalu merongrong kehidupan Islam, mereka meminta umat
Islam selain menyembah Allah juga menyembah mereka atau selain Allah, yaitu
thaghut-taghut despotisme politik, depostisme materi juga thaghut fanatisme
buta, sukuisme dan nasionalisme, selain thaghut materi, insting dan syahwat.
Tauhid islami
bukanlah sekedar perkataan yang diucapkan lisan, bukan pula sekedar persepsi
falsafat hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Akan tetapi ia adalah potensi
pembebasan yang memerdekakan manusia dengan segala kekuatannya dari
menghambakan diri kepada sesama makhluk pada saat dia dengan tulus menghambakan
diri kepada Allah semata secara sempurna. Ini adalah realisasi total dari
hubungannya dengan Allah SWT yaitu hubungan yang akan melindungi manusia itu
sendiri dari segala macam kelemahan yang akan menyeretnya ke jurang
keterasingan.
Mengesakan Allah
dengan wahdaniyah dan rububiyah adalah yang menjadikan iman kepada Allah
sebagai nyawa yang mengalir dan kekuatan yang diarahkan untuk setiap perbuatan
manusia, sehingga setiap kreasi manusia yang baik dan pilihan, apapun jenisnya
seakan-akan ibadah shalat khusyuk dalam mihrab alam semesta yang ditujukan
kepada Allah yang menciptakan dan memeliharanya.
Bila pengertian
tauhid ini hilang atau menjadi kabur dalam konsepsinya, maka manusia tidak ada yang
akan melindungi dan menyembah anak sapinya Samiri, menyembah emas sebagaimana
yang dilakukan Bani Israil dahulu kala, atau menyembah kesenangan, syahwat, dan
harta benda, sebagaimana halnya kebudayaan Barat yang beragama Kristen sekarang
ini, yaitu kebudayaan yang salah seorang pengikutnya mengatakan bahwa
pengikutnya itu menyembah bank enam hari dalam seminggu, kemudian beberapa
orang dari mereka pergi ke gereja pada hari ketujuh dan ketika mereka berada
dalam saat-saat ibadah pun gambaran bank tidak terlepas dari benak mereka.
Tauhid islami
adalah falsafah istimewa untuk hubungan istimewa yang menggabungkan manusia
dengan Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, manusia adalah ciptaan Allah. Dan ia
adalah khalifah-Nya yang mendapatkan tugas meramaikan alam semesta sesuai
dengan tujuan syariat kontrak dan perjanjian ketika diminta untuk menjadi
khalifah dia dan alam dengan kekuatan dan fenomenanya kesemuanya adalah makhluk
hidup berdasarkan saling menopang dan membantu. Semua makhluk hidup adalah
bangsa dan kelompok. Mereka bersama setiap yang ada di langit dan di bumi dan
yang ada di antara keduanya mempunyai hubungan yang diikat oleh penghambaan
diri kepada Allah dan pensucian-Nya. Demikian pula halnya antara tubuh dengan
ruh, subjek dengan obyek, agama dengan dunia, ilmu dengan agama, ilmu dengan
moral, dunia dengan akhirat, bintang dan planet, dan garis peredarannya, alam
gaib dengan alam nyata, sarana dengan tujuan dimensi individual dengan dimensi
sosial iman, kesemuanya bergabung dalam satu ikatan dalam bentuk yang menjadikan
seluruh alam semesta dengan segala isinya berada di bawah aturan dan disiplin
yang bersumber dari Dzat yang Maha Esa lagi Maha Kuasa yang dari pada-Nya
permulaan, dengan-Nya adanya perjalanan dan kepada-Nya berakhir. Dia telah
menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukurannya dengan serapi-rapinya.
Sejak dahulu
hingga kini, tauhid islami adalah merupakan jalan identitas umat untuk
tercapainya kesatuan sikap pemikiran dalam aqidah dan syariah. Dalam hal-hal
yang bersifat permanen, pokok dan penompang. Dan bertitik tolak dari sini juga
dapat dicapai kesatuan sikapnya dalam lapangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam menghadapi pertarungan dan tantangan kultural yang berada di sekitarnya
sejak munculnya Islam hingga masa sekarang ini. Dan juga sebagai jalan untuk
menyatukan sikap praktis dalam pertemuan kebangkitan kultural yang akan
menyelamatkannya dari keterbelakangan yang turun-temurun yang berdampak keterasingan,
kepunahan dan pedoman identitas Islam. Tauhid telah melakukan ini semua bersama
kaum muslim terdahulu yang sebelum mataharinya terbit mereka adalah kayu bakar
santapan api jahiliah. Dengan revolusinya dalam konsepsi alam semesta mereka
beralih dalam ke revolusi yang telah mengubah realita melalui kebangkitan
Islam, tauhid Islam, kemajuan Islam, dan kebudayaan Islam. Setelah mengalami
kematian, keterbelakangan dan kebodohan sebelum terbitnya matahari tauhid ini. Tauhid
dapat melakukan hal itu untuk kita dan bersama kita untuk selamanya dengan
syarat kita memandangnya sebagaimana generasi terdahulu pada permulaan
munculnya Islam memandangnya sebagai substansi beragama, falsafah konsepsi
terhadap alam semesta dan sarana utama untuk menyatukan umat secara internal.
Sebenarnya, ahli
tauhid yang benar-benar tauhidnya adalah manusia yang tidak akan menerima
hal-hal yang memalukan baik dalam agama taupun dalam kehidupan dunianya.
Ø
Ia adalah contoh dari sekelompok pemuda penghuni
gua yang menolak menghambakan diri kepada sesama makhluk, satu realita yang
mendominasi keyakinan masyarakatnya pada waktu itu, maka mereka berdiri lalu
berkata : “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi, kami sekali-kali tidak
menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya Kami kalau demikian telah mengucapkan
perkataan yang amat jauh dari kebenaran”. Kaum kami ini telah menjadikan selain
Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan
alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka) siapakah yang lebih dzalim dari
pada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?
Ø
Ia adalah contoh al-Mughiroh bin Syu’bah ketika
terjadinya perag al-Qadisiyyah masuk ke kemah Rustum, panglima perang Persea,
ia merasa heran terhadap orang-orang Persia ini yang menghambakan diri kepada
raja, pangkat dan julukan. Ia berkata kepada mereka: “Kami segenap bangsa Arab
sama, tidak ada penghambaan satu sama lain. Allah Ta’ala telah menghidupkan
kami dengan Islam. Adapun kalian, sebagian kalian menjadi tuan bagi sebagian
lainnya! Sekarang saya yakin bahwa kondisi kalian ternyata lemah! Tidak seorang
pun raja dapat menegakkan kekuasaannya dengan perilaku dan cara berpikir
seperti ini!”
Ø
Ia adalah contoh mukmin yang berkat Islam
memperoleh kekuasaan yang kualitasnya sebagaimana diceritakan Al-Qur’an al
Karim: “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang mukmin”. Rahasia kenapa orang-orang mukmin memiliki kekuatan ini
adalah karena kemerdekaannya dengan tauhid, dan penghambaan terhadap thaghut
sehingga mereka memperoleh kekuatan bersama Allah dan Rasul-Nya SAW.
Referensi
Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam.
Muhammad Abu Zahrah, Hakikat Aqidah Islam.
M. Lutfi Mustofa, Heifi Syaifudin, Intelektual Islam
Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar