Pages

15 Mei 2013

Kekuasaan Tuhan




Oleh Choirul Ngaivah

A.      KEKUASAAN MUTLAK TUHAN
Kekuasaan Tuhan yang terbatas tidak memiliki bukti yang lebih terang kecuali jika dilengkapi dengan mengkaji dan menguji fenomena alam semesta yang yang diciptakan dalam bentuk yang beraneka ragam dari alam yang tidak bisa diuraikan dengan sempurna.
Ketika kita melihat ciptaan Tuhan, maka diri kita akan berhadapan dengan energi yang sangat besar yang tidak ada batas yang kita bayangkan. Melihat ciptaan dan milyaran kebenaran dalam keajaiban alam dan direlung kehidupan manusia sendiri telah menyediakan indikasi yang paling jelas tentang skala Kekuasaan Tuhan yang telah menciptakannya. Karena besar dan dan kompleksitasnya tatanan kehidupan, maka tidak ada penjelasan lain yang memadai.
Ketika kita mencapai kesimpulan bahwa Tuhan sendiri yang berperan dalam mencipta, menata, dan mengatur seluruh alam semesta,dansemua sebab dan akibat tunduk pada kehendak dan perintah-Nya, masing-masing memiliki peran tertentu yang telah ditetapkan oleh Tuhan ketika kita telah mencapai kesimpulan ini, bagaimana kita bisa membayangkan bahwa kehidupan yang lain memiliki level yang sama dengan Tuhan dan tidak tunduk untuk sujud di hadapan-Nya ?
Allah berfirman :
Dan sebagian diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Tuhan Yang Menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS. FUSHSHILAT : 37 )
Kekuasaan Tuhan yang tidak tertandingi memaksa manusia untuk sujud dihadapan Sang Pencipta skema besar ini,. Tidak ada kata-kata yang mampu mengekspresikan dimensi kekuasaannya. Eksensi unik itu memiliki kekuasaan yang sangat besar sehingga kapanpun Dia menghendaki sesuatu untuk menjadi kenyataan, maka cukup mengatakan “Jadi !”, maka obyek yang dikehendaki akan menjadi kenyataan.
 Allah berfirman :
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanya berkata kepadanya ‘Jadilah !’ maka terjadilah ia.” (QS. YASIN : 87 )

Hukum yang ditunjukkan di ayat ini adalah indikator terbaik tentang kekuasaan-Nya yang tak terbatas dan manifestasi kekuasaan dan kebesaran-Nya yang tidak terjangkau. Ayat ini menegaskan batas yang bisa melekat pada kekuasaan Tuhan dan mengumumkan ketidaksesuaian semua kriteria dan ukuran bila berhadapan dengan hukum Tuhan ini.
Tuhan Maha Kuasa
Tidak ada yang meragukan pernyataan ini, karena memang seluruh semesta ini ada di bawah kekuasaanya. Tuhan Kuasa atas segala sesuatu,segala tindakan :
. . . . . . . Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ( QS. Al Baqarah [2] : 20 )
Dia Kuasa dan mampu ( QS Al Baqarah [2] : 20, QS. Al An’am [6] : 37 ). Dia kuat, perkasa ( QS. Hud [11] : 66 ).Dia Agung (QS. Al An’am [6] : 61, QS. Yusuf [12] : 39 )
Perhatikan deretan ciptaan-Nya : makhluk-makhluk kecil dan binatang-binatang buas yang sangat menakutkan, binatang-binatang yang hidup di kedalaman laut; burung yang sangat indah dan memiliki kicau nyaring dengan sayap yang berwarna-warnai, yang keindahannya ditiru oleh seniman sebagai hiasan kerajinan mereka; binatang-biantang yang gemerlapan di langit dan matahari yang terbit dan terbenam; fajar dan cahaya bulan, planet, galaksi dan nebula (sekelompok bintang yang nampak terang pada malam hari yang terbuat dari gas dandebu ), masing-masing dari mereka dalam jantungnya memiliki milyaran cahaya terang semuanya berputar dalam penampilan mereka yang tak terbatas.
Besar dan kecil, sulit dan mudah adalah properti yang melekat pada kehidupan yang terbats; pada wilayah esensi dan atribut Tuhan yang terbatas tidak ada persoalan besat dan kecil, banyak dan sedikit. Kelemahan dan ketidakbudayaan disebabkan oleh keterbatasan energi yang terdapat pada agenm oleh eksistansi rintangan di jalan ini, atau oleh tidak adanya sarana dan instrumen; semus  sifat ini tidak bisa melekat pada diri kekuasaan yang tidak terbatas.
Al Qur’an mengatakan :
. . . . .dan tidak ada sesuatupun yang dapat melemahkan Tuhan baik di langit maupun di bumi, sungguh Tuhan adalah Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. ( QS. FAATHIR : 44 )
Meskipun Tuhan mampu mengerjakan semua hal, namun Dia telah menciptakan dunia menurut skema yang cermat dan khas dalam kerangka kerja yang darinya sekelompok fungsi telah ditetapkan bagi fenomena tertentu dalam penciptaan fenomena yang lain.  Fenomena itu secara sempurna dan tidak bisa ditolak lagi tunduk kepada kepada perintah-Nya. Saat melakukan fungsi itu, ia sama sekali tidak pernah memberontak perintah-Nya.
Allah berfirman :
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Tuhanyang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan diciptakannya matahari, bulan dan bintang-bintang,masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Tuhan, Maha Suci Allah Tuhan semesta alam. ( QS. Al A’raf :54 )


B.            PAHAM ALIRAN KEKUASAAN dan KEHENDAK TUHAN
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat  dalam aliran –aliran teologi Islam mengenai kekuatan akal, fungsi, wahyu, dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya terdapat pulaperbedaan paha tentang kekuasaan dan kehendak mutalak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar kekuasaan Tuhan pada hakikatnya tidak lahi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran yang berpendapat sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tetep bersifat mutlak.

1.              ALIRAN MU’TAZILAH
Bagi kaum Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan sebenarnya tidak lagi mempunyai sifat mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam ( sunatullah ) yang menurut Al-Quran tidak pernah berubah. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuahan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’taziyah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutalak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabya Mu’tazilah mempergunakan ayat 62 surat Al Ahzab [33], disamping ayat-ayat yang menjelaskan kebebasan manusia yang disinggung dalam pembiacaraan tentang Free will dan Predestination.
Kebebasan manusia, yang memang di berikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalu Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan sendiri telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim, sehingga Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi lago ileh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut paham Mu’tazilah memang ada. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk,  tidak melalaikan kewajiban-kewajiba-Nya kepada manusia dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Dimana jalan pikiran ini tidak menghendaki sifat zalim dalam Menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi Allah.
     Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat mu’tazilah adalah ayat 47 surat Al-Anbiya (21), ayat 54 surat Yasin (36), ayat 46 surat Fusilat (41), ayat 40 surat An-Nisa (4) dan ayat 49 surat Al-Kahfi (18).
Sebagai mana yang dijelaskan kaum Mu’tazilah sesuai ayat 62 Al-Ahzab, yang mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum alam sendiri, disini ditambahkan tulisan pemuka-pemuka Mu’tazilah lainya Al-Jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing. Lebih tega Al-Khayyar menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu, dan tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali efek yang itu-itu  juga, api tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak dapat menghasilakan apa-apa kecuali dingin. Efek yang ditimbulkan tiap benda, menurut Mu’ammar seperti gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, basah dan kering, timbul sesuia dengan  natur dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai natur tertentu.
Dari tulisan-tulisan seperti diatas dapat  ditarik kesimpulan bahwa kaum Mu’tazilah percaya pada hukum alam atau sunah Allahyang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut paman determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sebagai kata Nader, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah.
Sebagai penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang tak berubah-ubah dan determinisme ini, ada baiknya disini dibawa uraian Tafsir al-Manar. segala sesuatu dialam ini, demikian al-Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musababnya didalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan meniciptakan sunnah tertentu, umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah yang tidak berubah-ubah untuk mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan  sunnah itu, ia akan mengalami kekalahan. Ada pula sunnah yang membawa pada kesenangan dan ada juga yang membawa kepada kesusahan. Keadaan seoarang mu’min atau kafir tidak mempunayi pengaruh dalamhal ini. Sunnah tidak kenal pada pengeculian, sungguhpun pengecualian untuk Nabi-nabi. Sunnah tidak berubah-ubah dan  Tuhan tidak menghendaki supaya sunnah sekali-kali menyalami natur.oleh karena itu orang sakit yang memohon pada Tuhan supaya ia diberikan kesehatan kembali, sebenarnya meminta : “ Tuhanku, hentikanlah untuk kepentinganku sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan berubah-ubah itu”. Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas hendak  Tuhan sendiri dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Semua uaraian tersebut diatas menunjukan bahwa dalam paham Mu’tazilah kekuasaan mutlak  Tuhan mempunyai batasan-batasan, dan Tuhan sendri, sebagai kata Al-Manar, tidak bersikap absolut seperti halnya dengan raja absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendak semata-mata. Keadaan Tuhan dalam paham ini, lebih dekat menyerupai keadaan Raja Konstitusioanal, yang kekuasaanya dan kehendaknya diabatasi oleh konstitusi.
Selain uraian diatas, dapat diambil pengertian juga bahwa semua perbuatan yang timbul dari Tuhan, dalam hubunganya dengan hamba-hambanya, ditentukan oleh kebijaksaan atas dasar kemaslahatan. Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluk dan perbuatannya itu selalu baik. Kebaikan itu bermakna bila Tuhan tidak berbuat zalim dengan membebani manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan paksaan tanpa memberi kebebasan terlebih dahulu.
Apabila kita memperhatikan uraian diatas, jelas sekali bahwa keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikiranya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada menusia. Adapun  kehendak mutlak-Nya diatas oleh keadilan Tuhan itu sendiri.

2. ALIRAN AS’ARIYAH
     Kaum As’ariyah, karena percaya kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang  mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Sebagai mana yang dijelaskan dalam tulisanya Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, diatas Tuhan tidak ada suatu dzat lain yang dapat membuat hukum dan dapat mementukan apa yang boleh dibuat dan yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata Al-Dawwani. Tuhan adalah Maha Pemilik (Al-malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendak-Nya didalam kerajaan-Nya dan tidak ada seorangpun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu sungghkan perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia yang dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Dalam hubungan ini Al-Baghdad mengatakan bahwa boleh saja Tuhan apa yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya. Lebih tegas ia menulis :
“ Tuham bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tiada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia buat apa saja yang dikehendaki-Nya. Seluruh milik-Nya dan perintah-Nya adalah atas perintah. Ia tak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapapun. :
Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehedak-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada yang kafir jika yang demikian yang dikehendaki-Nya.
Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan diatas dapat pula diihat dari paham kaum Asy’ariyah bahwa Tuhan meletakkan beban yang tidak terpikul pada diri manusia, dan dari keterangan Al-Asy’ary sendiri, bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka mestilah berdusta baik bukan buruk.
Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan memang tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran oleh Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya adalah surah Al Buruj ayat 1, Yunus ayat 99, As sajadah ayat 13, Al-An’am ayat 112, dan Al-baqaarah ayat 253.
Ayat-ayat tersebut dipahami Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu. Sedangkan sifat lupa, lalai apalagi lemah, adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. Oleh sebab itu, kehendak Tuhan tersebutlah yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-apa. Ini berarti kehendak dan kekuasaan Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya dan sepenuh-penuhnya. Tanpa makna itu, kekusaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak memilii arti apa-apa.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuta sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidak adilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya atau denga kata lain, dikatakan tidak adil jika yang dipahami Tuhan tidak lagu berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
3.  ALIRAN MATURIDIYAH
     Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu maturiduah samarkand dan Matiridiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akaldan pemebrian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan. Karena menganut paham Free will dan Free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan kaummatiridiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah. Tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendak-Nya dan menetukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menntang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan .
Adapun Maturidiyah Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan. Tetapi tidak pula memberi batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah.
Batasan –batasan yang diberikan golongan Samarkand adalah :
a.     Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia.
b.    Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenag-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c.     Keadaan hukuman-hukuman Tuhan sebagai kata al-Bayadi, tidak boleh tidak mesti terjadi.
Oleh karena itu, tidak perlu kiranya ditegaskan, bahwa yang menetukan batasan-batasan itu bukanlah zat selain dari Tuhan, karena diatas Tuhan tidak ada suatu zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.



Daftar Pustaka

Nasution, Harun, Teologi Islam  :  Aliran-aliran, Sejarah, Analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Dr. Abdul Rozak, M.Ag, Dr. Rosihin Anwar, M.ag, Ilmu Kalam, Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, 2009.
Baneshti, Muhammad Husaini, Metafisika Al Qu’ran, Menangkap Intisari Tauhid, Arasy, 2003.
Sayid Mutjaba Musawi Lari, Mengenal Tuhan dan Sifat-SifatNya, PT. Lentera Basritama, 1989.
Al Qur’an Terjemah bagian Jus 16-30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar