Oleh Choirul Ngaivah
A.
KEKUASAAN
MUTLAK TUHAN
Kekuasaan Tuhan
yang terbatas tidak memiliki bukti yang lebih terang kecuali jika dilengkapi
dengan mengkaji dan menguji fenomena alam semesta yang yang diciptakan dalam
bentuk yang beraneka ragam dari alam yang tidak bisa diuraikan dengan sempurna.
Ketika kita
melihat ciptaan Tuhan, maka diri kita akan berhadapan dengan energi yang sangat
besar yang tidak ada batas yang kita bayangkan. Melihat ciptaan dan milyaran
kebenaran dalam keajaiban alam dan direlung kehidupan manusia sendiri telah
menyediakan indikasi yang paling jelas tentang skala Kekuasaan Tuhan yang telah
menciptakannya. Karena besar dan dan kompleksitasnya tatanan kehidupan, maka
tidak ada penjelasan lain yang memadai.
Ketika kita
mencapai kesimpulan bahwa Tuhan sendiri yang berperan dalam mencipta, menata,
dan mengatur seluruh alam semesta,dansemua sebab dan akibat tunduk pada
kehendak dan perintah-Nya, masing-masing memiliki peran tertentu yang telah
ditetapkan oleh Tuhan ketika kita telah mencapai kesimpulan ini, bagaimana kita
bisa membayangkan bahwa kehidupan yang lain memiliki level yang sama dengan
Tuhan dan tidak tunduk untuk sujud di hadapan-Nya ?
Allah berfirman
:
Dan sebagian diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya
adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari
dan janganlah pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Tuhan Yang
Menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS.
FUSHSHILAT : 37 )
Kekuasaan Tuhan
yang tidak tertandingi memaksa manusia untuk sujud dihadapan Sang Pencipta
skema besar ini,. Tidak ada kata-kata yang mampu mengekspresikan dimensi
kekuasaannya. Eksensi unik itu memiliki kekuasaan yang sangat besar sehingga
kapanpun Dia menghendaki sesuatu untuk menjadi kenyataan, maka cukup mengatakan
“Jadi !”, maka obyek yang dikehendaki akan menjadi kenyataan.
Allah berfirman :
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila dia menghendaki
sesuatu hanya berkata kepadanya ‘Jadilah !’ maka terjadilah ia.” (QS.
YASIN : 87 )
Hukum yang
ditunjukkan di ayat ini adalah indikator terbaik tentang kekuasaan-Nya yang tak
terbatas dan manifestasi kekuasaan dan kebesaran-Nya yang tidak terjangkau.
Ayat ini menegaskan batas yang bisa melekat pada kekuasaan Tuhan dan
mengumumkan ketidaksesuaian semua kriteria dan ukuran bila berhadapan dengan
hukum Tuhan ini.
Tuhan Maha Kuasa
Tidak ada yang
meragukan pernyataan ini, karena memang seluruh semesta ini ada di bawah
kekuasaanya. Tuhan Kuasa atas segala sesuatu,segala tindakan :
. . . . . . . Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. ( QS. Al Baqarah [2] : 20 )
Dia Kuasa dan
mampu ( QS Al Baqarah [2] : 20, QS. Al An’am [6] : 37 ). Dia kuat, perkasa (
QS. Hud [11] : 66 ).Dia Agung (QS. Al An’am [6] : 61, QS. Yusuf [12] : 39 )
Perhatikan
deretan ciptaan-Nya : makhluk-makhluk kecil dan binatang-binatang buas yang
sangat menakutkan, binatang-binatang yang hidup di kedalaman laut; burung yang
sangat indah dan memiliki kicau nyaring dengan sayap yang berwarna-warnai, yang
keindahannya ditiru oleh seniman sebagai hiasan kerajinan mereka;
binatang-biantang yang gemerlapan di langit dan matahari yang terbit dan
terbenam; fajar dan cahaya bulan, planet, galaksi dan nebula (sekelompok
bintang yang nampak terang pada malam hari yang terbuat dari gas dandebu ),
masing-masing dari mereka dalam jantungnya memiliki milyaran cahaya terang
semuanya berputar dalam penampilan mereka yang tak terbatas.
Besar dan kecil,
sulit dan mudah adalah properti yang melekat pada kehidupan yang terbats; pada
wilayah esensi dan atribut Tuhan yang terbatas tidak ada persoalan besat dan
kecil, banyak dan sedikit. Kelemahan dan ketidakbudayaan disebabkan oleh
keterbatasan energi yang terdapat pada agenm oleh eksistansi rintangan di jalan
ini, atau oleh tidak adanya sarana dan instrumen; semus sifat ini tidak bisa melekat pada diri kekuasaan
yang tidak terbatas.
Al Qur’an mengatakan
:
. . . . .dan tidak ada sesuatupun yang dapat
melemahkan Tuhan baik di langit maupun di bumi, sungguh Tuhan adalah Maha
Mengetahui lagi Maha Perkasa. ( QS. FAATHIR : 44 )
Meskipun Tuhan
mampu mengerjakan semua hal, namun Dia telah menciptakan dunia menurut skema
yang cermat dan khas dalam kerangka kerja yang darinya sekelompok fungsi telah
ditetapkan bagi fenomena tertentu dalam penciptaan fenomena yang lain. Fenomena itu secara sempurna dan tidak bisa
ditolak lagi tunduk kepada kepada perintah-Nya. Saat melakukan fungsi itu, ia
sama sekali tidak pernah memberontak perintah-Nya.
Allah berfirman
:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Tuhanyang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arsy.
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
diciptakannya matahari, bulan dan bintang-bintang,masing-masing tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Tuhan, Maha
Suci Allah Tuhan semesta alam. ( QS. Al A’raf :54 )
B.
PAHAM
ALIRAN KEKUASAAN dan KEHENDAK TUHAN
Sebagai akibat
dari perbedaan paham yang terdapat dalam
aliran –aliran teologi Islam mengenai kekuatan akal, fungsi, wahyu, dan
kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya terdapat
pulaperbedaan paha tentang kekuasaan dan kehendak mutalak Tuhan. Bagi aliran
yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar kekuasaan Tuhan pada
hakikatnya tidak lahi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran yang
berpendapat sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tetep
bersifat mutlak.
1.
ALIRAN
MU’TAZILAH
Bagi kaum Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan
sebenarnya tidak lagi mempunyai sifat mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan
Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta
adanya hukum alam ( sunatullah ) yang menurut Al-Quran tidak pernah berubah.
Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuahan telah dibatasi oleh
kebebasan yang menurut paham Mu’taziyah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan
kemauan dan perbuatan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat
keadilan Tuhan.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Mu’tazilah kekuasaan
dan kehendak mutalak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di
tengah alam semesta. Itulah sebabya Mu’tazilah mempergunakan ayat 62 surat Al
Ahzab [33], disamping ayat-ayat yang menjelaskan kebebasan manusia yang
disinggung dalam pembiacaraan tentang Free
will dan Predestination.
Kebebasan
manusia, yang memang di berikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalu Tuhan
membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan Tuhan,
membuat Tuhan sendiri telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau
dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim, sehingga Tuhan tidak
bisa lagi berbuat sekehendak-Nya. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan dibatasi lago ileh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang
menurut paham Mu’tazilah memang ada. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd
Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak
memilih yang buruk, tidak melalaikan
kewajiban-kewajiba-Nya kepada manusia dan segala perbuatan-Nya adalah baik.
Dimana jalan pikiran ini
tidak menghendaki sifat zalim dalam Menghukum, memberi beban yang tidak patuh
bagi Allah.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran
dalam memperkuat pendapat mu’tazilah adalah ayat 47 surat Al-Anbiya (21), ayat
54 surat Yasin (36), ayat 46 surat Fusilat (41), ayat 40 surat An-Nisa (4) dan
ayat 49 surat Al-Kahfi (18).
Sebagai
mana yang dijelaskan kaum Mu’tazilah sesuai ayat 62 Al-Ahzab, yang mengatakan
bahwa tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum alam sendiri, disini
ditambahkan tulisan pemuka-pemuka Mu’tazilah lainya Al-Jahiz mengatakan bahwa
tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang menimbulkan efek
tertentu menurut natur masing-masing. Lebih tega Al-Khayyar menerangkan bahwa
tiap benda mempunyai natur tertentu, dan tidak dapat menghasilkan apa-apa
kecuali efek yang itu-itu juga, api
tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak dapat menghasilakan
apa-apa kecuali dingin. Efek yang ditimbulkan tiap benda, menurut Mu’ammar
seperti gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, basah dan kering, timbul sesuia
dengan natur dari masing-masing benda
yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan
Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai natur
tertentu.
Dari
tulisan-tulisan seperti diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa kaum Mu’tazilah percaya pada hukum alam atau
sunah Allahyang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut paman
determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sebagai kata Nader, tidak
berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah.
Sebagai
penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang tak berubah-ubah dan
determinisme ini, ada baiknya disini dibawa uraian Tafsir al-Manar. segala
sesuatu dialam ini, demikian al-Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah
Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musababnya didalamnya
mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan meniciptakan sunnah
tertentu, umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah
yang tidak berubah-ubah untuk mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang
dari jalan yang ditentukan sunnah itu,
ia akan mengalami kekalahan. Ada pula sunnah yang membawa pada kesenangan dan
ada juga yang membawa kepada kesusahan. Keadaan seoarang mu’min atau kafir
tidak mempunayi pengaruh dalamhal ini. Sunnah tidak kenal pada pengeculian,
sungguhpun pengecualian untuk Nabi-nabi. Sunnah tidak berubah-ubah dan Tuhan tidak menghendaki supaya sunnah
sekali-kali menyalami natur.oleh karena itu orang sakit yang memohon pada Tuhan
supaya ia diberikan kesehatan kembali, sebenarnya meminta : “ Tuhanku,
hentikanlah untuk kepentinganku sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan
berubah-ubah itu”. Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas
hendak Tuhan sendiri dan dengan demikian
merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Semua
uaraian tersebut diatas menunjukan bahwa dalam paham Mu’tazilah kekuasaan
mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan,
dan Tuhan sendri, sebagai kata Al-Manar, tidak bersikap absolut seperti halnya
dengan raja absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendak semata-mata.
Keadaan Tuhan dalam paham ini, lebih dekat menyerupai keadaan Raja
Konstitusioanal, yang kekuasaanya dan kehendaknya diabatasi oleh konstitusi.
Selain
uraian diatas, dapat diambil pengertian juga bahwa semua perbuatan yang timbul
dari Tuhan, dalam hubunganya dengan hamba-hambanya, ditentukan oleh kebijaksaan
atas dasar kemaslahatan. Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan
dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluk dan perbuatannya itu selalu
baik. Kebaikan itu bermakna bila Tuhan tidak berbuat zalim dengan membebani
manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan paksaan
tanpa memberi kebebasan terlebih dahulu.
Apabila
kita memperhatikan uraian diatas, jelas sekali bahwa keadilan Tuhan menurut
konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikiranya tentang kehendak
mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam
perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk
dan memberi kebebasan kepada menusia. Adapun
kehendak mutlak-Nya diatas oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
2. ALIRAN AS’ARIYAH
Kaum As’ariyah, karena percaya kemutlakan
kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan.
Yang mendorong Tuhan untuk berbuat
sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Sebagai mana yang dijelaskan dalam
tulisanya Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, diatas Tuhan
tidak ada suatu dzat lain yang dapat membuat hukum dan dapat mementukan apa
yang boleh dibuat dan yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolut
dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata Al-Dawwani. Tuhan adalah Maha
Pemilik (Al-malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang
dikehendak-Nya didalam kerajaan-Nya dan tidak ada seorangpun yang dapat mencela
perbuatan-Nya. Yaitu sungghkan perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia yang
dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Dalam
hubungan ini Al-Baghdad mengatakan bahwa boleh saja Tuhan apa yang telah
diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah diperintahkan-Nya dan
memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya. Lebih tegas ia menulis :
“
Tuham bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tiada suatu larangan pun bagi
Tuhan. Ia buat apa saja yang dikehendaki-Nya. Seluruh milik-Nya dan
perintah-Nya adalah atas perintah. Ia tak bertanggung jawab tentang
perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapapun. :
Al-Ghazali
juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbuat apa saja yang
dikehedak-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa
orang yang berbat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada
yang kafir jika yang demikian yang dikehendaki-Nya.
Kemutlakan
kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan diatas dapat pula diihat dari
paham kaum Asy’ariyah bahwa Tuhan meletakkan beban yang tidak terpikul pada
diri manusia, dan dari keterangan Al-Asy’ary sendiri, bahwa sekiranya Tuhan
mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka mestilah berdusta baik bukan buruk.
Bagi
kaum Asy’ariyah, Tuhan memang tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada
janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.
Ayat-ayat
Al-Qur’an yang dijadikan sandaran oleh Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya
adalah surah Al Buruj ayat 1, Yunus ayat 99, As sajadah ayat 13, Al-An’am ayat
112, dan Al-baqaarah ayat 253.
Ayat-ayat
tersebut dipahami Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku,
itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu.
Sedangkan sifat lupa, lalai apalagi lemah, adalah sifat-sifat yang mustahil
bagi Allah. Oleh sebab itu, kehendak Tuhan tersebutlah yang berlaku, bukan
kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri menghendaki agar
manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan
berkehendak apa-apa. Ini berarti kehendak dan kekuasaan Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya
dan sepenuh-penuhnya. Tanpa makna itu, kekusaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak
memilii arti apa-apa.
Karena
menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna
keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak terhadap
makhluk-Nya dan dapat berbuta sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidak
adilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap
makhluk-Nya atau denga kata lain, dikatakan tidak adil jika yang dipahami Tuhan
tidak lagu berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
3. ALIRAN
MATURIDIYAH
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan
Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu maturiduah samarkand dan
Matiridiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam
menentukan porsi penggunaan akaldan pemebrian batas terhadap kekuasaan mutlak
Tuhan. Karena menganut paham Free will dan Free act serta adanya batasan bagi
kekuasaan mutlak Tuhan kaummatiridiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih
dekat dengan Mu’tazilah. Tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada
kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan oleh aliran
Mu’tazilah.
Kehendak
mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendak-Nya dan menetukan
segala-galanya. Tidak ada yang dapat menntang atau memaksa Tuhan dan tidak ada
larangan bagi Tuhan .
Adapun
Maturidiyah Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan
kemutlakan kekuasaan Tuhan. Tetapi tidak pula memberi batasan sebanyak batasan
yang diberikan Mu’tazilah.
Batasan
–batasan yang diberikan golongan Samarkand adalah :
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenag-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman-hukuman Tuhan sebagai kata al-Bayadi, tidak boleh tidak mesti terjadi.
Oleh
karena itu, tidak perlu kiranya ditegaskan, bahwa yang menetukan
batasan-batasan itu bukanlah zat selain dari Tuhan, karena diatas Tuhan tidak
ada suatu zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas segala-galanya.
Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya
sendiri pula.
Daftar Pustaka
Nasution, Harun, Teologi
Islam : Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Dr. Abdul Rozak, M.Ag, Dr. Rosihin Anwar, M.ag, Ilmu Kalam, Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka
Setia, 2009.
Baneshti, Muhammad Husaini, Metafisika Al Qu’ran, Menangkap Intisari Tauhid, Arasy, 2003.
Sayid Mutjaba Musawi Lari, Mengenal Tuhan dan Sifat-SifatNya, PT. Lentera Basritama, 1989.
Al Qur’an Terjemah bagian Jus 16-30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar