Pages

16 Mei 2013

Keadilan Tuhan




Oleh Rina yuniati 
Para ulama Muslimin tidak sama pemahamannya terhadap qadar Allah (ketetapan/ kemauan/ kehendakTuhan). Apakah kehendak Tuhan tersebut mutlak, tidak tunduk kepada norma-norma baik dan buruk, adil dan dzalim dan kebijaksanaan, ataukah tunduk kepada hal-hal itu semua. Didalam teologi islam masalah keadilan Tuhan sudah disinggung ini berkaitan dengan perbuatan-Nya.  Menurut paham Mu’tazilah sendiri Tuhan dikatakan adil karena Tuhan Wajib berbuat baik.
Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak tergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat ataukah manusia itu hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan munculnya makna “keadilan,” yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya, menjadi berbeda.

Maka saya jelakan aliran-aliran yang menyangkut keadilan Tuhan sebagai berikut :

1. Aliran kalam rasional
Konsep keadilan bagi kalangan rasional banyak didominasi oleh pendapat aliran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, prinsip keadilan merupakan salah satu prinsip dari lima prinsip dasar Mu’tazilah yang biasa disebut Al-Ushul Al-Khamsah. Konsep keadilan bagi mereka mempunyai dua sisi pembahasan,
Pertama, menyangkut hak dan kewajiban; dalam konteks ini keadilan berarti lawan dari kezaliman.
Kedua, berkaitan dengan perbuatan Tuhan, dengan pengertian bahwa segala perbuatannya adalah baik dan mustahil ia melakukan perbuatan buruk.jadi Tuhan wajib berbuat baik terhadap manusia.
Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan yang dipahami Mu’tazilah, aliran Maturidiah Samarkand menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan tidak akan memungkiri segala janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Abu Mansur al-Maturidi memberi dalil pandangan di atas dengan firman Allah ayat 160 surat al-An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.

Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Tuhan, karena bagaimana mungkin, jika manusia itu tidak diberi kebebasan dan kehendak dalam melakukan sesuatu perbuatan dan kemudian diminta pertanggung jawaban atas akibat perbuatannya.
Hal ini jelas bertentangan dengan keadilan Allah yang menghendaki agar manusia itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang dilakukan dengan kehendaknya yang bebas bukan terpaksa.
Dan selanjutnya, ia dapat meniadakan kedzaliman dari Allah sebab kemungkaran moral yang dilakukan manusia dan sekiranya kemungkaran itu sudah ditentukan Allah atas manusia sejak azali, maka balasan yang diberikan atasnya merupakan suatu kezaliman.
Muhammad abduh memandang soal keadilan Tuhan bukan hanya dari segi ke maha sempurnaan Tuhan, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak bisa diberikan kepada Tuhan, karena ketidak adilan tidak sejalan dengan ke maha bijaksanaan Tuhan, tidak sejalan dengan kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan tidak pula sejalan dengan kesempurnaan peraturan alam semesta.
Bagi kalangan Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana harus memiliki suatu maksud dari penciptaan alam semesta ini, dan bahwa terdapat keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan Tuhan, sekalipun terhadap orang yang mengesampingkan hukum Ilahi (syari’ah) mengenai kebaikan dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat tidak adil.

2. Aliran Al-Asy’ariyyah
Adapun aliran Al-Asy’ariyyah, yang menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kekuasaan-Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah. Dengan demikian, ketidak adilan dipahami dalam arti Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil bila yang terpahami adalah Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
Terkait hubungan antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan keadilan Tuhan maka al-Baghdadi[12] mengatakan, Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa saja yang dikehendakinya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas segala perintah. Ia tidak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun.

3.Aliran Maturidiyah
Sependapat dengan Asy’ariyah, aliran Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendaknya sendiri. Keadaan Tuhan yang bersifat maha bijaksana tidak mengandung arti bahwa disebalik perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
Kaum Maturidiyyah kaum Samarkhan karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah daripada kaum Asy’ariyyah. Tetapi tedensi golongan ini untuk meninjau wujud dari sudut kepentingan manusia lebih kecil dari tedensi kaum Mu’tazilah. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena kekuatan yang di berikan golongan Samarkhan kepada akal serta batasan yang mereka berikan kepada kekauasaan mutlak Tuhan, lebih kecil yang di berikan kaum Mu’tazilah.

Dengan demikian jika kaum Mu’tazilah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum-hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatannya sendiri, maka kaum Asy’ariyah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja absolut, yang memberikan hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri.
Persolan masalah keadilan dalam hal ini terkait dengan setiap usaha manusia dan pandangan manusia terhadap konsep takdir. Takdir sebagaimana yang diketahui di bagi menjadi dua, yaitu taqdir yang tetap (mubram) dan yang dapat diubah dan diusahakan (mu’allaq).
Jadi, perlu diketahui oleh setiap muslim bahwa dalam kehidupan ini wilayah yang mu’allaq lebih besar porsinya dari wilayah yang mubram. Taqdir yang dapat diusahakan tersebut berada dalam setiap sisi kehidupan ini dan terkait dengan hukum sebab akibat (kausalitas).
Sebagai contoh, misalnya, jika seseorang ingin menjadi orang pintar maka ia harus belajar dengan rajin dan tekun; jika ingin menjadi pengusaha kaya, maka harus berusaha semaksimal mungkin dan berusaha mencari setiap peluang usaha yang dapat mendatangkan uang; atau, jika tidak ingin mendapat musibah tsunami, maka carilah tempat tinggal yang jauh dari wilayah pantai yang rawan tsunami. Jadi, apa yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang, tidak terlepas dari apa yang kita lakukan dan usahakan pada waktu terdahulu. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berprasangka baik terhadap Tuhan (husnun al-zhann) dalam kehidupannya.
Kaum Maturidiyyah kaum Samarkhan karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah daripada kaum Asy’ariyyah. Tetapi tedensi golongan ini untuk meninjau wujud dari sudut kepentingan manusia lebih kecil dari tedensi kaum Mu’tazilah. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena kekuatan yang di berikan golongan Samarkhan kepada akal serta batasan yang mereka berikan kepada kekauasaan mutlak tuhan, lebih kecil yang di berikan kaum Mu’tazilah.

Jadi bisa saya simpulkan seperti ini :
Paham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus di hormati Tuhan. Keadilan bukanalah hanya berarti memberi upah yang berbuat baik dan memberi hukuman kepada yang berbuat salah, seperti tidak meberi beban yang terlalu berat bagi manusia, pengiriman rasul dan nabi-nabi, memberi manusia  daya untuk melaksanakan keawajiban-kewajibannya dan sebagainya. Semua ini merupakan keawajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Sedangkan paham Asy’ariyyah tentang keadilan bertentangan dengan paham yang di bawa kaum Mu’tazilah, keadilan dalam paham Asy-ariyyah ialah keadilan raja absolute yang meberikan hukuman menurut kehedak mutlak-Nya,  tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. Keadilan paham mu’tazilah adalah keadilan raja konstitusionil, yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum, sungguhpun hukum itu adalah buatannya sendiri. Ia memberikan hukuman sesuai dengan hukum dan bukan semau-Nya.
Kaum Maturidiyyah golongan Bukhara mengambil possisi yang lebih dekat dengan posisi Asy-Ariyyah dalam hubungan ini, sedangkan golongan Samarkhan mengambil posisi yang lebih dekat pada Mu’tazillah.
  
Daftar Pustaka

Nasution, Harun, Teologi Islam  :  Aliran-aliran, Sejarah, Analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Dr. Abdul Rozak, M.Ag, Dr. Rosihin Anwar, M.ag, Ilmu Kalam, Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, 2009.
http  : // makalah manajannail. Blogspot. Com / 2012 / 05 / Keadilan-Tuhan . html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar