Para ulama Muslimin tidak sama pemahamannya terhadap qadar Allah (ketetapan/
kemauan/ kehendakTuhan). Apakah kehendak Tuhan tersebut mutlak, tidak tunduk
kepada norma-norma baik dan buruk, adil dan dzalim dan kebijaksanaan, ataukah
tunduk kepada hal-hal itu semua. Didalam teologi islam masalah keadilan Tuhan
sudah disinggung ini berkaitan dengan perbuatan-Nya. Menurut paham Mu’tazilah sendiri Tuhan dikatakan
adil karena Tuhan Wajib berbuat baik.
Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak tergantung
pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan
berbuat ataukah manusia itu hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan terhadap
bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan munculnya makna “keadilan,” yang sama-sama disepakati
mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya, menjadi berbeda.
Maka
saya jelakan aliran-aliran yang menyangkut keadilan Tuhan sebagai berikut :
1. Aliran kalam rasional
Konsep keadilan bagi kalangan rasional banyak didominasi oleh
pendapat aliran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, prinsip keadilan merupakan salah
satu prinsip dari lima prinsip dasar Mu’tazilah yang biasa disebut Al-Ushul
Al-Khamsah. Konsep keadilan bagi mereka mempunyai dua sisi pembahasan,
Pertama, menyangkut hak dan kewajiban; dalam
konteks ini keadilan berarti lawan dari kezaliman.
Kedua, berkaitan dengan perbuatan Tuhan,
dengan pengertian bahwa segala perbuatannya adalah baik dan mustahil ia melakukan
perbuatan buruk.jadi Tuhan wajib berbuat baik terhadap manusia.
Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam
kehendak dan perbuatan yang dipahami Mu’tazilah, aliran Maturidiah Samarkand
menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan
terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan
yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya
dan tidak akan memungkiri segala janji-Nya yang telah disampaikan kepada
manusia. Abu Mansur al-Maturidi memberi dalil pandangan di atas dengan firman
Allah ayat 160 surat al-An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.
Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
kuat antara kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Tuhan, karena
bagaimana mungkin, jika manusia itu tidak diberi kebebasan dan kehendak dalam
melakukan sesuatu perbuatan dan kemudian diminta pertanggung jawaban atas
akibat perbuatannya.
Hal ini jelas bertentangan dengan keadilan Allah yang
menghendaki agar manusia itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang
dilakukan dengan kehendaknya yang bebas bukan terpaksa.
Dan selanjutnya, ia dapat meniadakan kedzaliman dari Allah
sebab kemungkaran moral yang dilakukan manusia dan sekiranya kemungkaran itu
sudah ditentukan Allah atas manusia sejak azali, maka balasan yang diberikan
atasnya merupakan suatu kezaliman.
Muhammad
abduh memandang soal keadilan Tuhan bukan hanya dari segi ke maha sempurnaan
Tuhan, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak
bisa diberikan kepada Tuhan, karena ketidak adilan tidak sejalan dengan ke maha
bijaksanaan Tuhan, tidak sejalan dengan kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan tidak
pula sejalan dengan kesempurnaan peraturan alam semesta.
Bagi kalangan Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana harus
memiliki suatu maksud dari penciptaan alam semesta ini, dan bahwa terdapat
keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan Tuhan, sekalipun
terhadap orang yang mengesampingkan hukum Ilahi (syari’ah) mengenai kebaikan
dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat tidak adil.
2. Aliran Al-Asy’ariyyah
Adapun aliran Al-Asy’ariyyah, yang menekankan kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa
Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya dalam kekuasaan-Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan
dalam pandangan Asy’ariyah. Dengan demikian, ketidak adilan dipahami dalam arti
Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata
lain, dikatakan tidak adil bila yang terpahami adalah Tuhan tidak lagi berkuasa
mutlak terhadap milik-Nya.
Terkait hubungan antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan
keadilan Tuhan maka al-Baghdadi[12] mengatakan, Tuhan bersifat adil dalam
segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa
saja yang dikehendakinya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di
atas segala perintah. Ia tidak bertanggung jawab tentang
perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun.
3.Aliran Maturidiyah
Sependapat dengan Asy’ariyah, aliran Maturidiyah Bukhara
berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos.
Tuhan berbuat sekehendaknya sendiri. Keadaan Tuhan yang bersifat maha bijaksana
tidak mengandung arti bahwa disebalik perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat.
Atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan
manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
Kaum Maturidiyyah kaum Samarkhan karena menganut paham free
will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak tuhan,
dalam hal ini mempunyai posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah
daripada kaum Asy’ariyyah. Tetapi tedensi golongan ini untuk meninjau wujud dari sudut
kepentingan manusia lebih kecil dari tedensi kaum Mu’tazilah. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena kekuatan yang di
berikan golongan Samarkhan kepada akal serta batasan yang mereka berikan kepada
kekauasaan mutlak Tuhan, lebih kecil yang di berikan kaum Mu’tazilah.
Dengan demikian jika kaum Mu’tazilah menempatkan keadilan
Tuhan sebagai keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi oleh
hukum-hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatannya sendiri, maka kaum
Asy’ariyah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja absolut, yang
memberikan hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu
kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri.
Persolan masalah keadilan dalam hal ini terkait dengan
setiap usaha manusia dan pandangan manusia terhadap konsep takdir. Takdir
sebagaimana yang diketahui di bagi menjadi dua, yaitu taqdir yang tetap
(mubram) dan yang dapat diubah dan diusahakan (mu’allaq).
Jadi, perlu diketahui oleh setiap muslim bahwa dalam
kehidupan ini wilayah yang mu’allaq lebih besar porsinya dari wilayah yang
mubram. Taqdir yang dapat diusahakan tersebut berada dalam setiap sisi
kehidupan ini dan terkait dengan hukum sebab akibat (kausalitas).
Sebagai contoh, misalnya, jika seseorang ingin menjadi orang
pintar maka ia harus belajar dengan rajin dan tekun; jika ingin menjadi
pengusaha kaya, maka harus berusaha semaksimal mungkin dan berusaha mencari
setiap peluang usaha yang dapat mendatangkan uang; atau, jika tidak ingin
mendapat musibah tsunami, maka carilah tempat tinggal yang jauh dari wilayah
pantai yang rawan tsunami. Jadi, apa yang terjadi dalam kehidupan kita
sekarang, tidak terlepas dari apa yang kita lakukan dan usahakan pada waktu
terdahulu. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berprasangka
baik terhadap Tuhan (husnun al-zhann) dalam kehidupannya.
Kaum Maturidiyyah kaum Samarkhan karena menganut paham free
will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak tuhan,
dalam hal ini mempunyai posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah
daripada kaum Asy’ariyyah. Tetapi tedensi golongan ini untuk meninjau wujud dari sudut
kepentingan manusia lebih kecil dari tedensi kaum Mu’tazilah. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena kekuatan yang di
berikan golongan Samarkhan kepada akal serta batasan yang mereka berikan kepada
kekauasaan mutlak tuhan, lebih kecil yang di berikan kaum Mu’tazilah.
Jadi bisa saya simpulkan seperti ini :
Paham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti
kewajiban-kewajiban yang harus di hormati Tuhan. Keadilan bukanalah hanya berarti memberi upah yang berbuat baik dan
memberi hukuman kepada yang berbuat salah, seperti tidak meberi beban yang
terlalu berat bagi manusia, pengiriman rasul dan nabi-nabi, memberi manusia daya untuk
melaksanakan keawajiban-kewajibannya dan sebagainya. Semua ini merupakan
keawajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Sedangkan paham Asy’ariyyah tentang keadilan
bertentangan dengan paham yang di bawa kaum Mu’tazilah, keadilan dalam paham Asy-ariyyah ialah keadilan raja absolute
yang meberikan hukuman menurut kehedak mutlak-Nya, tidak terikat pada suatu
kekuasaan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. Keadilan paham mu’tazilah adalah keadilan raja
konstitusionil, yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum, sungguhpun hukum itu adalah buatannya sendiri. Ia memberikan hukuman sesuai dengan
hukum dan bukan semau-Nya.
Kaum Maturidiyyah golongan Bukhara mengambil possisi yang
lebih dekat dengan posisi Asy-Ariyyah dalam hubungan ini, sedangkan golongan Samarkhan mengambil posisi yang lebih
dekat pada Mu’tazillah.
Daftar Pustaka
Nasution, Harun, Teologi
Islam : Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Dr. Abdul Rozak, M.Ag, Dr. Rosihin Anwar, M.ag, Ilmu Kalam, Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka
Setia, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar