• images-no-1.jpg
  • images-no-2.jpg
  • images-no-3.jpg
  • images-no-4.jpg
  • images-no-5.jpg

Pages

23 Juli 2013

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL

0 komentar

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga pada kesempatan ini kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul “Hukum Menikahi Wanita Hamil”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Pembelajaran Mata Kuliah FIQIH Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun Akademik 2012/2013.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan .Untuk itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.


 PENDAHULUAN

1.1   LATAR BELAKANG
Kehamilan dapat terjadi  melalui perkawinan yang legal, maupun melalui hubungan akibat perkosaan, atau hubungan suka-sama suka diluar nikah yang disebut dengan perzinahan/ prostitusi. Apalagi pergaulan bebas antara muda mudi , seperti yang terjadi saat ini, seringkali membawa hal-hal yang tidak dikehendaki, yakni terjadinya kehamilan sebelum sempat dilakukan pernikahan. Dengan demikian hamil sebelum diadakan akad nikah telah menjadi problema yang membutuhkan pemecahan,sehingga terjadi kegelisahan dikalangan masyarakat maupun para ulama , yang ditangan merekalah terletak tanggung jawab yang sangat besar, terlebih lagi menyangkut masalah hukum islam/syari’at. Kebiasaan Orang tua yang merasa malu karena putrinya hamil diluar nikah , mereka biasanya berusaha menikahkan putrinya dengan laki-laki yang menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya.Sekarang ini menikahi wanita hamil karena zina bukanlah masalah baru karena pada zaman rasulullah juga pernah terjadi. Padahal islam menganjurkan nikah dan melarang zina,karena zina adalah sumber kehancuran.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil karena cerai atau ditinggal suami?
2. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil karena zina?
3. Bagaimana hukumnya wanita hamil karena zina menikah dengan orang yang  tidak menghamilinya?
4.  Bagaimana status anak yang akan dilahirkan?


                                                           
BAB I PEMBAHASAN
2.1  Hukum menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwa,
 Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Laki-laki yang menikah dengan seorang wanita yang sedang hamil, hukumnya yaitu sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 4 yaitu
 “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” .
            Dengan demikian, perempuan yang hamil tidak boleh menikah sebelum janin yang dikandungnya lahir. Alasan keharaman nikah hamil itu demi menghormati sperma suaminya yang suci karena telah menikah[1].

Pada ayat lain Allah SWT menjelaskan,
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru( suci) Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah (perbaikan).
 Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Baqarah).
Ayat diatas menurut Ibn Mas’ud, turun setelah ayat tentang idah (masa tunggu) karena kematian suaminya (Qs. Al-Baqarah:234). Disisi lain, ibn Abbas dan Ali ibn Abi Thalib memandang ayat (Qs. Al-Thalaq:4 tidak terkait dengan idah kematian. Dengan demikian, masa idah bagi wanita yang hamil diambil waktu yang lebih lama. Diantara tujuan idah adalah untuk mengetahui keadaan rahim sebelum menikah[2].
Atas dasar ini, al-Razi berpendapat bahwa idah hamil itu sampai kelahiran bayi yang dikandung. Idah ini berlaku dalam segala keadaan (fi jami’ al-ahwat). Artinya, idah hamil tidak hanya berlaku bagi wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya, akan tetapi perempuan hamil akibat perzinaan juga harus menjalani idah. Hanya saja para ulama masih berbeda pendapat dalam hal perlu atau tidaknya idah bagi pezina yang hamil. 
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)

2.2 Hukum Menikahi Wanita Hamil karena zina.
Para ulama berbeda berpendapat  mengenai hukum menikahi wanita yang hamil diluar nikah, apakah mereka dikenakan had(hukuman) atau tidak, sebagian ulama berpendapat dikenakan had dan sebagian lagi tidak.[3] Selain itu diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa  wanita hamil karena zina ada masa iddahnya,dan juga ada yang berpendapat tidak.
Menurut pendapat para ulama tentang masalah ini yaitu,
1.      Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Imam Hambali, membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina,asalkan yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya,sebab hamil yang semacam ini tidak  menyebabkan haramnya dinikahi.
2.      Abu Yusuf dan Riwayat Imam Abu Hanifah,bahwa tidak boleh menikahi wanita yang hamil karena zina, sebelum ia melahirkan, agar nutfah(darah) suami tidak bercampur dengan tanaman orang lain.
3.      Riwayat lain Abu Hanifah, bahwa perkawinan dengan perempuan berzina yang hamil, sah, tetapi tidak boleh melakukan coitus/ hubungan badan sebelum anaknya lahir.[4]
4.      Imam Muhammad As-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita yang dihamili laki-laki lain hukumnya sah,tetapi haram baginya melakukan hubungan  badan hingga bayi yang dikandungnya lahir.
5.      Ibn Qudamah, pendapatnya sejalan degan  imam muhammad As-Syabani, namun beliau menambahkan bahwa,wanita itu  harus terlebih dahulu dipidana dengan pidana cambuk.
6.      Prof.Abdul Halim Mahmud, bahwa akad nikah perempuan yang hamil diluar nikah sah. Apabila rukun syaratnya pernikahan terpenuhi,seperti wali saksi,dan mahar.adapun status hukum hubungan sebelum akad adalah hubungan zina,berdosa dan pelanggaran hukum. Bagi laki-laki dan perempuan yang melakukannya, hukuman dan sanksinya disesuaikan dengan  pelaku perzinahan.[5]

2.2   Hukum Wanita Hamil yang Menikah dengan Orang Yang Tidak Menghamilinya.

Berdasarkan sebab turunnya surat An Nur ayat 3,dapat diketahui bahwa Allah mengharamkan seorang laki-laki yang bukan menghamilinya menikahi wanita yang hamil karena zina. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan laki-laki yang beriman.[6]
Ketentuan ini  diatur juga oleh undang-undang perkawinan maupun KHI  pasal 3 yang berbunyi,
1.      Seorang wanita hamil diluar nikah,dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.      Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.

Dari ketentuan pasal 53 diatas, KHI secara tegas mengatur bahwa perkawinan hamil dapat dilakukan asalkan yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya. Ketentuan ini juga sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran surat  An-Nur ayat 3 yang artinya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. Persyaratan ini dipertegas lagi oleh surat Al-Baqarah ayat 221 yang artinya ”Bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil diharamkan oleh Allah untuk menikahinya”. Perkawinan semacam ini juga tidak perlu menunggu habis masa iddah wanita  hamil tersebut,dan tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.

Menurut  pendapat para ulama tentang masalah ini yaitu,

1.      Abu hanifah dan imam syafi’i berpendapat bahwa, menikahi wanita hamil yang dinikahi laki-laki lain hukumnya sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain, dan boleh mengumpulinya karena janin yang telah ditanam tidak akan ternoda oleh benih yang ditanam.
2.      Imam Abu Yusuf, bahwa perkawinannya fasid(batal). Hal ini didasarkan kepada ayat 3 surat An –Nur.
3.      Imam Muhammad as-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita hamil sah,tetapi haram melakukan hubungan badan ,sampai anak yang dikandungnya lahir. Pemikirannya ini menghendaki pemisahan perkawinan hamil dengan anak yang dikandung agar tidak terjadi ikhtilath nasab/percampuran keturunan.
4.      Malik dan Ahmad,tidak sah menikah dan tidak boleh bergaul,dimana wanita hamil karena zina wajib iddah dan tidak sah aqad nikahnya,karena tidak halal menikahi wanita hamil sebelum melahirkan.[7]
5.      Abu yusuf dan Zafar, karena wanita itu hamil dari  hubungan dengan lelaki lain,maka haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil lainnya, karena hamil itu mencegah bersetubuh,maka juga mencegah akad nikah,sebagaimana hamil yang ada nasabnya.Oleh karena tujuan nikah itu menghalalkan hubungan badan dan apabila tidak berhubungan badan maka pernikahan itu tidak ada artinya.
Mereka mendasarkan pendapatnya kepada sabda Nabi Muhammad S.A.W
“barang siapa yang beriman kepda Allah dan Hari Akhir maka janganlah  menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” ( H.R.Abu Dawud)
dan dasar berikut ini, “perempuan hamil dilarang dinikahi sampai ia melahirkan.” (H.R.Abu Dawud).
6.      Drs.Cut Anwar,MA, mengatakan bahwa tidak sah menikah karena larangan-larangan yang dikemukakan ayat Al-Quran yang secara tegas melarangnya, dilihat dari sudut biologis dengan menikahi wanita yang tidak halal digauli(untuk sementara) menjadi kesulitan bagi laki-laki,karena sulit bagi seorang laki-laki membebndung syahwatapalagi mereka tinggal serumah.Ia juga khwatir apabila si laki-laki tergelincir melakukan larangan itu. Maka menurutnya lebih baik tidak menikah dari pada menikah tapi tidak boleh berkumpul.
Sedangkan pernikahan dengan orang yang menghamilinya menurut para ulama hukumnya sah, mereka boleh berhubungan layaknya suami istri. Dan ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat 3, karena status mereka sebagai pezina. Tetapi seorang yang menghamili wanita kemudian melaksanakan akaq nikah, masalahnya tidak selesai,karena mereka telah berdosa dan melanggar hukum Tuhan,maka mereka wajib bertaubat yaitu taubat nasuha.Menikahkan wanita pezina dengan laki-laki yang menzinahinya adalah sah,apabila syarat dan rukunnya terpenuhi seperti wali,saksi,dan mahar. Adapun status hukum hubungan sebelum akad adalah hubungan zina ,dosa dan pelanggaran hukum,laki-laki dan perempuan yang melakukannya adalah pelaku pelanggaran hukum dan sanksinya adalah sanksi yang biasa yang dikenakan kepada pelaku perzinahan.
2.3   Status Anak Yang Dilahirkan
Pada dasarnya nasab anak zina  dihubungkan pada ibunya.[8] Sesuai dengan hadits Nabi “ Al- Walidu Lil Firsasyi( seorang anak adalah milik ibunya).” Maka anak itu tidak di nasabkan kepada si ayah,walaupun si ayah mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya.
 M. Yahya Harahahap mengatakan bahwa dilegalkannya perkawinan hamil antara lain adalah untuk memberikan kepastian pada kedudukan anak yanag akan dilahirkan, sehingga silsilah keturunan anak tersebut dapat dinisbatkan ,kepada ibu dan laki-laki yang menghamilinya. Pemikiran M. Yahya ini juga telah terumuskan didalam pasal 99 KHI, yang menyatakan anak yang sah adalah,
a.       Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
KHI membuka kemungkinan bagi tertampungnya anak yang lahir akibat perkawinan hamil ke dalam pengertian anak sah,sekalipun anak itu dilahirkan beberapa hari setelah perkawinan dilaksanakan.
b.      Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Dr. Wahab al Rakhly,mengupas hal ini dengan menetapkan batasan waktu kelahiran seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang lain yang lebih mengetahui tentang kehamilannya adalah si wanita itu sendiri. Menurutnya bila bayi itu lahir setelah 6 bulan dihitung sejak akad maka  bayi itu di nisbahkan kepada suami dan kurang dari 6 bulan dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila si suami mengatakan bahwa anak itu adalak anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak itu  dari hubungan zina. Pengakuan ini menurutnya , menetapkan nasab kepada suami berdasarkan aqad nikah yang lalu, karena orang islam harus berbuat baik dan menutup aib.[9]
Prof. Abdul Halim Mahmud, memang hukum positif mengakui anak hasil zina tersebut sebagai anak yang sah dan memiliki hak-hak hukum sebagaimana yang dimilki anak yang lahir dari pernikahan yang sah, lain halnya menurut syariat islam.Islam sangat menjaga kesucian kehormatan,dan kehidupan yang berbudi. Sebab, mengakui  anak hasil hubungan diluar nikah sama dengan mengakui perzinahan dan buahnya. Dengan demikian , islam menolak anak hasil hubungan di luar nikah. Dan anak  hasil zina tidak memiliki hak waris dari laki-laki yang menzinahi ibunya.
Menurut pendapat para ulama yaitu,
·         Jika laki-laki yang menikahinya bukan yang menghamilinya.
Para ulama sepakat bahwa status anak tersebut adalah anak zina,dan nasabnya diberikan kepada ibunya,dan tidak ada nasab dengan laki-laki yang menikahi ibunya dan sesudah ibunya melahirkan sebaiknya dinikahkan ulang dengan laki-laki yang mengawininya ketika ia hamil.
·         Jika laki-laki yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya, maka para ulama berpendapat bahwa,

1.      Jika pernikahan dilakukan setelah janin itu berumur 4 bulan ,maka status anak itu adalah anak zina, nasabnya hanya dihubungkan kepada ibu yang melahirkan. Tetapi jika pernikahan itu dilakukan sebelum janin berumur 4 bulan ,maka anak itu dianggap anak sah dari suami istri tersebut.
2.      Walaupun janin yang ada dalam kandungan wanita itu berumur beberapa hari kemudian wanita itu dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya , maka anak yang dilahirkan tetap dipandang sebagai anak zina,tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang menghamili tadi,hal ini karena keberadaan janin itu dalam kandungan lebih dahulu dari pada pernikahan dilaksanakan.[10]

BAB III PENUTUP
3.1    KESIMPULAN
Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal yaitu harus menunggu sampai lepas masa iddah selesai. Masa iddahnya itu sendiri yaitu sampai anak dalam kandungannya lahir.

Hukum menikahi wanita hamil sebab zina yaitu terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, yaitu ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh. Namun pada surat An-Nur ayat 3 sudah dijelaskan bahwa wanita pezina harus menikah dgn laki-laki pezina dan hukum nya haram jika seorang mukmin menikahi laki-laki pezina tersebut.

Pada dasarnya  nasab anak zina hanya dihubungkan dengan ibunya.Sesuai dengan hadits Nabi”al-walidu lil-firsasyi” yaitu seorang anak hanya milik ibunya. Namun terjadi beberapa perbedan pendapat untuk masalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

    Qardhawi,Yusuf,Prof.Dr,dkk,2009,Ensiklopedi Muslimah Modern,Depok: Pustaka Iman. 
     Drs.H.M.Anshary MK,S.H,M.H,2010,Hukum Perkawinan Di Indonesia,Pusataka Pelajar
     Zainuddin,Ali,M.A.Prof.Dr.H,2006,Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika.
   Drs. Cut Aswar,MA. 1994. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus

Oleh Ibnu Umar, Joko Septiono dan Siti Muslikhatun


[1] http//akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/hakikat dakwah salafiyah.

[2] ibid
[3]  Drs. Cut Aswar,MA. 1994. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, Halaman 52.
[4] Drs. H.M. Anshary MK,S.H,M.H. 2010. Hukum perkawinan di indonesia: masalah-masalah krusial. Jakarta: Pustaka    Pelajar, Halaman 58.
[5] Prof. Yusuf Qardhawi,dkk.2009.Ensiklopedia muslimah modern. Depok: pustaka Iiman,
[6] Ibid
[7] Drs. Cut Aswar,MA. 1994. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, Halaman 54.
 [8] Ibid, halaman 56

[9] Ibid
[10]  Drs. H.M. Anshary MK,S.H,M.H. 2010. Hukum perkawinan di indonesia: masalah-masalah krusial. Jakarta: Pustaka    Pelajar, Halaman 42.

2 Juli 2013

Kuttab Gaya Klasik

0 komentar


Oleh Sofi Lutfiana

PENDAHULUAN
Turunnya Islam memeng sangat berperan penting bagi  bangsa Arab pada saat itu. Islam mengangkat bangsa Arab ke tinggkat peradaban yang lebih tinggi dan memperkenalkan elemen-elemen pedidikan yang sebelumnya sangat memprihatinkan. Dalam makalah ini akan dituis sedikit tenteng  tradisi pendidikan pada masa pra-Islam hingga Islam diturunkan ditengah-tengah masyarakat Arab.
RUMUSAN MASALAH
1.                  Benarkah ada pendidikan pada masa pra-Islam?
2.                  Bagaimana peranan Islam pada masyarakat Arab pada waktu itu?
3.                  Seperti apa setatus social guru dan benarkah guru pada waktu itu tidak digaji?
4.                  Adakah kriteria usia agar biasa mengikuti pendidikan dasar pada waktu itu?
5.                  Bagaimana metode pengajaran dikuttab?
PEMBAHASAN MASALAH
1.      Pendidikan pada masa pra-Islam
Masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal lembaga pendidikan yang disebut kuttab atau kadang disebut maktab,yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan membaca dan menulis.
Menurut M.Hamidullah kuttab sudah berkembang dengan baik sejak masa pra-Islam (jahiliyyah). Meskipun diakui bahwa catatan-catatan mengenai keadaan pendidikan pada massa tersebut tidak banyak ditemukan, namun Hamidullah dapat mendapatkan beberapa bukti yang dapat memberikan gambaran situasi penddikan pada kala itu. Salah satu contoh bukti Hamidullah, dengan merujuk pada kitab ‘Uyun al Akbbar karya Ibn Qutaibah, Hamidullah menguraikan bahwa Zilmah, salah seorang perempuan anggota suku Hudhail, pada waktu kecil memasuki sekolah dan biasa bermain-main dengan tinta yang biasa dipakai untuk menulis. Selain itu, Ghailan ibn Salmah dari suku Thaif juga terkenal sering mengadakan pertemuan mingguan dimana para penyair membacakan syair-ayairnya dan mendiskusian serta mengkritisi karya-karya mereka.
Penjelasan Hamidullah tersebut belum menunjukan apakah kegiatan pendidikan tersebut bersifat massal atau hanya diikiti oleh orang-orang tertentu. Dalam hal ini Ahmad Shalbi, dangan merujuk pada karya Al-Baladuri, futub al-Bldan menjelaskan bahwa Sufyan Bin Umayyah dan Abu Qais bin ‘abd Manaf adalah orang asli Arab partama yang belajar membaca dan menulis.Guru mereka adalah seorang nasrani bernama Bishr ‘Adb al-Malik yang pernah belajar ilmi ini di Hira. Dan orang Arab pertama yang menjadi guru adalah Wadi al-Qura yang hidup disana dan mulai mengajarkan membaca dan menulis kepada penduduk Arab, sehingga pada saat datangnya Islam hanya ada 17 orang Quraisy yang mengenal baca tulis.
Dengan merujuk pada data yang ditulis oleh Shalaby ini dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan  hanya dilakukan oleh sekelompok orang dan khususnya di Makkah. Dan hal yang demikian dapat dimaklumi menginggat pada saat itu sebagian penduduk di Jazirah Arab adalah penduduk yang memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah (nomaden).Tentu perhatian yang meraka berikan lebih besar  pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer berupa makanan sementara kegiatan pendidikan menjadi kebutuhan sekunderatau bahkan meraka anggap tidak penting sama sekali. Karena ketrampilan membaca dan menulis belummenjadi hal yang umum dimiliki masyarakat, maka yang berkembang adalah tradisi lisan.Dalam kondisi seperti itu, yang menjadi “guru” adalah mereka yang paling banyak hafalannya[1].

2. Peranan Islam
Dengan datangnya masa Islam kegiatan pendidikan yang sudah ada sebelumnya dapat berkembang dengan lebih baik. Karena itu Ignaz Goldziher  mengatakan “Tidak salah untuk dikatakan bahw Islam mengangkat Bangsa Arab ke tingkat peradaban yang lebih tinggi, dab pada saat yang sama memperkenalkan elemen-elemen pendidikan yang sebelumnya sangat memprihatinkan”. Perkembangan pendidikan pada massa ini tidak terlepas dari besarnya perhatian Al-Qur’an pada pendidikan dan juga kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Nabi sendiri dan anjuran-anjuran yang beliau sampaikan kepada umatnya berkaitan pada dengan urusan pendidikan[2].
Perkembangan lembaga pendidikan kuttab secara luas berlangsung pada awal abad ke-2 hijriyah, yakni sejak massa Muawiyah. Menurut Hisham Nashabi, perkembangan kuttab ini tidak bias dilepaskan dari adanya kebutuhan ketrmpilan menulis sejalan dengan menganut kurikulm campuran, dengan Al-Qur’an sebagai inti, tetapi tidak memadukannya dengan ketrampilan kaligrafi, sehingga tulisan tangan anak-anak muslim dari Timur tidak begitu baik.

3.      Status sosial dan gaji guru
Ada perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebut  guru pada pendidikan dasar. Guru pada sebuah  kuttab disebut mu’allim  dan guru yang mengajar anak-anak raja disebut muaddib. Perbedaan ini ternyata juga memiliki implikasi pada perbedaan status sosial mereka.Guru-guru kuttab pada mumnya mendapatkan status sosial yang rendah dalam masyarakat. Merujuk pada catatan Jahiz, misalnya Goldziher mengatakan bahwa A,akmun menoak untuk mengakui kesaksian guru di pengadilan.
Sedangkan menuru Quraishi pekerjaan sebagai seorang guru di kuttab dianggap rendah juga karenapekerjaan trsebut tida memerlukan usaha fisik yang umumnya dilakukan kaum laki-laki, disamping itu pekerjaan ini menuntut seseoran untuk tinggal dirumah,sesuatu yabg tidak layak dilakukan laki-laki, guru-guru itu dianggap rendah karena mengurusi anak-anak kecil, tinggal diruangan kelas dan tidak berhubunga degan kekerasan. Guru itu juga sering menjadi orang yang membosankan, yang mengajarkan Al-Qur’an hanya dengan hafalan dan meneror anak-anak dengan tongkat.[3]
Sedangkan mengenai gaji guru, persoalan apakah guru yang mengajar ilmu-ilmu agama atau ilmu mumum boleh mendapatkan bayaran menjadi perdebatan dikalangan umat islam pada massa awal. Kaum ortodoks dan mereka yang taat beragama pada umumnya berpandangan bahwa mengajarkan pendidikan agama seharusnya tidak menuntut bayaran.Tujuan dari mengajar agama adalah untuk mencari ridha Allah.
Pada prakteknya guru-guru tersebut teteap mendapatkan bayaran khususnya yang mengajarkan membaca, menulis dan ilmu hitung. Namum mereka yang mengajarkan Al-Qur’an pada umumnya menolak ketika diberi upah, karena mereka tidak akan mengambil bayaran dari pengajaran  kitab Allah.
Pada massa Umar guru-guru tersebut dibayar 15 dirham. Seorang guru itu bebas menerima bayaran dari pemerntah, masyarakat atau perorangan, tetapi mereka harus puas berapapun bayarannya tergantung pada yang mau memberi.

4.      Kriteria usia untuk memasuki pendidikan kuttab
Beberapa sumber abad pertengahan memberikan informasi yang berbeda tentang usia anak memasuki pendidikan kuttab. Barang kali ini dapat juga dianggap sebagai pertanda tidak adanya ketentuan yang baku mengenai kapan anak dapat memasuki apendidikan kuttab. Ilmuwan Al-Andalus (Spanyol) Ibn Hazm, menganggap bahwa usia 5 tahun adalah ideal untuk memulai pendidikan kuttab. Ibn Al-Jawzi memberitakan bahwa ia memulai pendidikan kuttab nya pada usia 6 tahun, tetapi banya diantara teman sekelasnya yang lebih tua dari dia sendiri. Seorang  ulama bernama Ibn Al-Adin baru masuk kuttab pada usia 7 tahun. Yang lin bahkan menunggu sampai berusia 10 tahun, hal ini menunjukan tidak adanya keseragaman mengenai kapan seorang anak harus memulai pendidikan kuttab-nya.

5.      Matode pengajaran di kuttab

Metode yang digunakan guru dalam pengajaran di kuttab masih sederhana. Metode pengajaran yang menekankan hafalan yang berkembang pada masa pra-islam masih digunakan pada kuttab-kuttab masa islam. Triton memberikan gambaran bagaimana proses pengajaran berlangsug: guru membacakan teks, murid kemudian menulisnya dan kemudian membaca teks tersebut. Hubungan guru dan murid berlangsung layaknya hubungan orang tua dan anak.Kesalahan-kesalahan yang dilakukan murid diperbaiki dengan santun. Tidak ada bukti guru-guru disekolah islam menyakiti siswa karena malas atau kaerena gagal dalam belajar, dan pelajaran biasanya dilakukan pada pagi hari setelah matahari terbit dan berlangsung sampai siang hari.
Menurut Goldziherpada saat itu cambuk dianggap sebagai alat pendidikan yang ada manfaatnya, oleh karena itu guru juga sering diejek sebagai orang yang membawa pemukul (hamil al-dirra), dan Ibn Sina juga mengatakan al-isti’ana bi al-yad sebagai sesuatu yang berguna dalam pendidikan.Adanya pemberian hukuman fisik pada siswa ini tidak berarti bahwa para pendidik Muslim pada masa itu, melihat hukuman sebagai alternatif pertama. Ibn Khaldun   menjelaskan:”severe punishment in the course of instruction does harm to studentes, especially to little children…students who are brought up with injustice and (tyrannical) force are overcome by it. It makes them feel opperressed and cousses them to lose their energy. It makes them lazy and induces them to lie and be insincere”. Kalimat tersebut menunjukan ketidaksetujuannnya pada  praktek pemberian hukuman fisik pada murid. Namun tidak menunjukan bahwa hukuman fisik tidak pernah ada pada masa islam dulu.
KESIMPULAN
1.      Kuttab pada masa Islam berfungsi sebagai lembaga pendidikan dasar.
2.      Islam datanag mengangkat bangsa Arab ketingkat peradaban yang lebih tinggi dan pada saat yang sama Islam memperkenalkan elemen-elemen pendidikn yang sebelumnya sangat memperihatinkan.
3.      Tidak ada kriteria umur agar anak dapat masuk ke pendidikan kuttab.
4.      Guru-guru kuttab pada umumnya mendapat status social yang rendah dalam masyarakat.


[1] Rusman Thoyib, jurnal edukasi, h. 139-141
[2] Ibid, h. 141
[3] Ibid. h. 144