Pages

19 Mei 2013

Ikhlas dan Taqwa




Oleh Elis Sofanawati
IKHLAS
Ikhlas adalah sifat hati yang bersih dari campuran yang mencemarinya atau suatu yang murni, dimana ketulusan adalah kunci keikhlasan dalam setiap tindakan tanpa adanya dorongan riya’ dan takabur dalam sanubari.
Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. An-Nahl: 66,
Berupa susu yang bersih di antara tahi dan darah yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”.
Apabila suatu perbuatan bersih dari riya’ dan ditujukan bagi Allah maka perbuatan itu dianggap murni. Setiap hamba Allah memiliki kemampuan dan kemauan dalam beribadah yang berbeda-beda. Sedangkan nilai ibadah seorang hamba di hadapan Allah ditunjukkan dengan ikhlasnya dalam beramal. Tanpa keikhlasan takkan berarti apa-apa amal seorang hamba karena tidak ada nilainya di sisi Allah.
Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi teramat sangat penting dan akan membuat hidup ini menjadi lebih mudah. Balasan yang dinikmati hamba Allah yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun amalan tersebut belum dilakukan. Di samping itu akan merasakan ketenteraman jiwa dan batin karena dia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian. Penghargaan atau imbalan dipuji atau tidak sama saja. Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi ataupun imbalan duniawi, konsentrasi orang ikhlas hanya satu yakni bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah. Hamba Allah yang luas mampu beribadah secara istiqomah dan terus kontinu. Orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas amalnya dalam kondisi ada atau tidak adanya orang yang memperhatikan adalah sama. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas ibadahnya justru lebih bagus ketika ada orang lain yang memperhatikannya. Pendapat sufi tentang keikhlasan; Al-Susiy berkata “Keikhlasan itu adalah ketiadaan melihat ikhlas. Karena barang siapa menyaksikan keikhlasan di dalam keikhlasan, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan”. Dikatakan Sahl “Manakah yang paling berat terhadap nafsu? Sahl menjawab : Keikhlasan karena dia tidak punya bagian dari keikhlasan”.
Ia berkata pula : “Keikhlasan adalah tenangnya manusia dan gerak-geraknya karena Allah SWT semata-mata”.
Tanda-tanda ikhlas seorang hamba:
1.      tidak mencintai popularitas dan tidak menonjolkan diri,
2.      tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian,
3.      tidak silau dan cinta jabatan,
4.      tidak diperbudak imbalan dan balas budi,
5.      tidak mudah kecewa,
6.      tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil,
7.      tidak fanatik golongan,
8.      ringan dan lahap dalam beramal,
9.      ridho dan marahnya bukan karena perasaan pribadi,
10.  tidak membeda-bedakan pergaulan.
Keikhlasan seorang abrar adalah apabila amal perbuatan telah bersih dari riya’ baik yang jelas maupun tersamar, sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala yang dijanjikan Allah SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah ia merasa bahwa semua amal kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.
Dengan kata lain amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal karena Allah sedangkan amalan hamba yang muqarrabin dinamakan amalah billah, yaitu beramal dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan sekedar memperhatikan hukum dzakir. Sedangkan amal billah menembus ke dalam perasaan kalbu. Kekuatan dahsyat adalah keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin yang senantiasa mendekatkan dirinya pada Allah Azza Wa Jalla.
  
TAKWA
Menurut arti harfiah, takwa berarti hati-hati, ingat, mawas diri dan waspada. Kata takwa tidak dapat diartikan sama dengan “takut”, karena sifat takut itu lebih banyak bercampur dengan rasa benci. Padahal persoalan takwa ialah segi hubungan manusia dengan Tuhannya, dimana tidak boleh terdapat dalam hubungan itu unsur benci walaupun sedikit. Dalam pengertian umum - sebagaimana yang telah dikemukakan berulang-ulang kali dalam pembahasan-pembahasan yang lalu takwa ialah sikap mental orang-orang mukmin dan kepatuhannya dalam melaksanakan perintah-perintah Allah SWT serta menjauhi larangan-larangan-Nya atas dasar kecintaan semata.

Kriteria Orang-orang Takwa
Untuk memahami takwa itu dengan sebaik-baiknya, sudah barang tentu Qur’anlah sebagai penuntun bagi kita dalam memberikan penjelasan dan keterangan kepada kita. Menurut Qur’an, kriteria orang-orang takwa sebagai berikut:

 Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.[1]
Berdasarkan atas ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dapat dipahami bahwa takwa itu terdapat pada :
1.      Mereka yang beriman pada yang gaib seperti adanya Allah, malaikat-malaikat dan hari akhirat.
2.      Mereka yang melaksanakan pokok-pokok ibadah (terutama shalat, zakat, dan mereka yang berinfaq, membelanjakan hartanya di jalan Allah). Ini menjadi bukti adanya iman bagi seseorang kepada yang gaib.
3.      Mereka beriman kepada yang gaib dan melaksanakan pokok-pokok ibadah adalah orang-orang yang beruntung hidupnya, atau menurut istilah lain, sukses. Beruntung dan sukses adalah cita-cita dan tujuan akhir dari segala kerja-kerja manusia di dunia. Sebab itu bila seorang bertakwa maka dia telah sampai pada derajat yang paling tinggi.
Lebih lanjut keterangan Qur’an tentang takwa, sebagai berikut:

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”.[2]

Menurut ayat-ayat ini, kriteria muttaqin (orang-orang takwa) ialah mereka yang:
a.       Selalu menuju kepada ampunan (maghfirah) Tuhan. Artinya senantiasa bekerja sesuai dengan ridha Tuhan; bukan yang dilarang dan yang dimurkai-Nya. Dan bila tersalah atau terlupa, cepat-cepat beristighfar (mohon ampun) pada Tuhan.
b.      Suka menafkahkan (infaq) sebagian harta bendanya, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit. Membayar zakat memberi makanan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim, memberi sumbangan atau derma kepada kegiatan dakwah Islam dan sebagainya, semuanya termasuk kategori menafkahkan sebagian harta benda.
c.       Sanggup menahan amarahnya. Artinya orang yang dapat mengendalikan emosi dan nafsunya. Kemampuan seseorang mengendalikan emosi dan nafsunya membuat dia menjadi manusia besar, bukan besar fisik tetapi besar jiwanya.
d.      Memaafkan kesalahan orang lain. Tidak menaruh dendam terhadap seseorang karena sesuatu kesalahan, baik sengaja maupun tidak. Karena dendam itu dapat membawa bencana terhadap diri sendiri, orang lain dan kepada masyarakat.
e.       Berbuat baik, pemaaf dan jujur. Semua menjadi tanda takwa kepada Allah.
f.       Apabila berbuat keji (faahisyah) dan menganiaya diri sendiri, segera mengingat Allah lalu memohon ampun. Perbuatan faahisyah ialah dosa besar yang mana bahayanya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti: membunuh, zina,r iba. Sedang menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang bahayanya terhadap diri sendiri saja.
g.      Tidak lagi meneruskan perbuatan dosanya ketika dia mengetahui bahwa perbuatan itu mengandung dosa. Atau tidak mengulangi kembali dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya secara sadar.
Keterangan-keterangan tentang takwa berdasar ayat-ayat ini menegaskan bahwa takwa itu adalah sikap hidup dan akhlak seorang muslim, yang merupakan buah dan hasil didikan ibadah-ibadah pokok. Sedang ibadah-ibadah itu sendiri adalah pancaran keluar daripada iman. Maka dapatlah kita memahami bahwa takwa itu adalah hasil daripada ibadah kepada Tuhan, karenanya tidak mungkin ada takwa tanpa ada ibadah. Tepat sebagaimana firman Allah SWT:

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.[3]
Selanjutnya beberapa ayat yang mengandung kata takwa, sebagai berikut:

Awaslah kamu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir”.[4]
Berhati-hatilah kamu sekalian terhadap malapetaka yang tidak hanya menimpa orang-orang jahat di antara kamu”.[5]
Pengertian takwa di sini kembali kepada arti harfiahnya. H.A. Salim menerangkan : “… takwa lebih tepat disalin kata “ingat” dengan makna awas, hati-hati. Yaitu menjaga diri, memelihara keselamatan diri, yang dapat diusahakan dengan melakukan yang baik dan benar, memantangkan yang jahat dan salah; seperti yang dikehendaki oleh takwa”.[6]
Dengan demikian pengertian takwa dalam Surah Ali Imran: 131 dan dalam Surah Al-Anfal 25 tersebut, tidaklah berbeda dengan takwa yang diterangkan dalam ayat-ayat yang lalu. Semua perkataan takwa di sini menunjukkan buah ibadah seseorang.
Bila takwa diartikan awas, ingat, seperti yang disimpulkan oleh H.A. Salim, maka tepatlah pengertian itu dan hubungan dengan “api neraka” dan “malapetaka” seperti yang termaktub dalam kedua ayat itu. “Awas” dan “hati-hati” merupakan sikap seseorang. “Sikap ini hanya dapat dilahirkan oleh kesadaran. Kesadaran itu dilahirkan oleh ibadah, hubungan muslim dengan Tuhan. Menyadari Tuhan sebagai Khaliq, Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Suci, pendeknya segala maha yang bersifat esa, memberikan efek kepada kesadaran akan diri sendiri dalam berhadapan dengan Tuhan. Siapakah aku betapakah dan bagaimanakah aku, dari mana dan akan ke mana aku? Aku adalah makhluk dari Khalik, aku adalah manusia, aku penuh dengan tenaga dan kelemahan, aku nisbi dalam segala kesanggupan. Aku makhluk yang suatu ketika kembali kepada Khaliq”.[7]
Takwa itu adalah puncak kehidupan ibadah yang selalu dicari oleh setiap muslim. Tuhan selalu mendorong manusia untuk mencapai tingkatan itu dan berusaha mempertahankannya setelah mendapatnya. Demikianlah Tuhan mewajibkan kepada orang-orang beriman untuk berpuasa agar mereka bertakwa (Al-Baqarah: 183). Sebab takwa itu akan menanamkan akhlak mulia pada manusia yang efeknya bukan saja terhadap dirinya sendiri, tapi juga terhadap masyarakatnya.
Berikut ini ada lagi beberapa kriteria orang-orang yang takwa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, ialah mereka yang:
a.       Menepati janji
Barang siapa yang menepati janjinya dan bertakwa, maka sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang bertakwa”.[8]
b.      Menegakkan keadilan
Tegakkanlah keadilan, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”.[9]
c.       Bersifat pemaaf
Kalau kamu memaafkan, maaf itu lebih dekat kepada takwa”.[10]
d.      Bersifat istiqamah, yaitu berkepribadian kuat dan teguh
Selama mereka bersifat lurus kepadamu, hendaklah kamu bersikap teguh hati (istiqamah) kepada mereka. Sesungguhnya Tuhan itu menyukai orang-orang yang takwa”.[11]
e.       Tidak mempunyai rasa takut dan duka cita dalam hidup yang berpancaroba, seperti sifatnya wali-wali Allah
Sesungguhnya wali-wali Allah, mereka tidak merasa takut dan tidak berduka cita. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa”.[12]
f.       Sabar, yaitu orang yang tabah, tahan uji, pantang menyerah dan tidak berputus asa. Sabar dalam beribadah, sabar dalam berjihad, sabar menghadapi musibah, sabar dari perbuatan maksiat dan sabar dari godaan duniawi.
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetap bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung (sukses)”.[13]

Takwa Sumber Kemenangan
Manusia yang berhasil mencapai derajat takwa kemudian berusaha mempertahankannya terus, dipandang sebagai manusia yang sukses ibadahnya. Ia laksana sebatang pohon yang baik, yang ditanam serta dipelihara, ia telah berbuah kemudian memberikan kenikmatan kepada manusia. Karena itu Tuhan menempatkan manusia takwa sebagai manusia paling mulia dan dalam pandangan-Nya.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.[14]

Sebab itulah pula maka derajat takwa menjadi tujuan hidup kaum muslimin dalam hidupnya di dunia ini. Maka tiap-tiap Jum’at, khatib wajib selalu menasihatkan melalui mimbar Jum’at kepada hadirin untuk bertakwa dengan membacakan panggilan Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan muslim[15]
Hubungan dengan Tuhan bagi manusia yang hidup dalam berbagai persoalan duniawi, amatlah pentingnya. Orang-orang besar yang menjadi pemimpin-pemimpin dunia, sangat memahami persoalan ini. Sebagai contoh, baiklah di sini kita kutip pertanyaan dua orang besar, sebagaimana yang dicatat oleh M. Yunan Nasution.[16]
Mahatma Gandi, pemimpin dunia yang dalam perjuangannya dibesarkan dengan pukulan, pernah menyatakan : “Kalau tidaklah karena kepercayaan, sudah lama saya hancur” (without prayer, I should have been a lunatic long ago). Dan Arnold Toynbee, historikus Inggris yang terkenal itu, pernah menyatakan antara lain: “Religion indispensable for human beings, and without it, the existence of man was not possible. Religion was essential for solving the most complicated problems of the individual and the society. In modern scientific advancement, religion has still to play a better and important hole for the preservation of the personality of man” (Agama sangat diperlukan bagi hidup manusia. Tanpa agama, keadaan manusia tak mungkin bertahan. Agama mutlak untuk memecahkan persoalan-persoalan yang paling ruwet dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Dalam dunia kemajuan pengetahuan modern, agama itu memainkan peranan yang lebih baik dan penting untuk melindungi kepribadian manusia).
Orang-orang yang berusaha selalu mendekat Tuhan, tentu Tuhan selalu menyertainya pula, sehingga mudahlah baginya menempuh perjalanan hidupnya.
Maka orang-orang mukmin yang bertakwa, pasti mempunyai kekuatan yang mampu menghadapi segala macam problematika hidup, sanggup mengatasi saat-saat yang kritis, dapat mendobrak jalan-jalan buntu yang menghambat, bisa melihat sinar yang menerangi jalan di tengah-tengah malam yang gelap gulita. Pendek kata, takwa membukakan way out kepadanya, dari setiap problem dan situasi yang kritis. Tepat benar janji Allah SWT: 
Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.[17]
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusan-urusan (yang dihadapinya)”.[18]

Jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan”.[19]
Demikianlah agama Islam ini membina kehidupan manusia, diawali dengan tauhid. Dan dari tauhid menebarkan iman dan aqidah yang membuahkan amal ibadah dan amal shalih. Akhirnya amal ibadah yang dijiwai oleh iman dan dipelihara terus menerus, menciptakan suatu sikap hidup muslim yang bernama takwa.
Maka apabila dalam suatu hidup kenegaraan, takwa menjadi sendinya dimana penguasa dan rakyat hidup bertakwa, tentu kehidupan kenegaraan itu mendapat karunia dan ridha Allah SWT. Kalau penguasa suatu negeri, yang mana selalu menjadi sumber teladan rakyat, keamanan dan ketenteramannya, memiliki sifat-sifat takwa dari minimal enam sifat-sifat takwa yang telah disebut yang lalu, niscaya bereslah segala soal.
Apa sebab segala soal dapat beres? Sungguh besar efek bagi rakyat terhadap penguasa yang menepati janji, disiplin menegakkan keadilan (melaksanakan rule of law) dan bersifat pemaaf, artinya tidak bertabiat hasad, dengki dan balas dendam. Di samping itu kepada rakyat ditanamkan jiwa istiqamah, yaitu pribadi yang teguh dan kuat, serta tidak ada rasa takut dan duka cita, tetapi selalu optimis dalam hidup. Ketenteraman, keamanan dan hak-hak rakyat dibelanya dengan sesungguhnya. Jika para penguasa dan pemimpin menjadi pelopor dalam takwa, pastilah terwujud suatu negara yang adil dan makmur di bawah naungan ridha Allah SWT. Itulah kemenangan hakiki!
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya[20]
Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa (muttaqin) mendapat kemenangan[21]
Jadi kesimpulannya : “takwa sumber kemenangan!”.



Daftar Pustaka
Nasruddin Razak, Drs., Dienul Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989.









[1] Al-Baqarah (2): 1-5
[2] Ali Imran (3): 133-136
[3] Al-Baqarah (2): 21.
[4] Ali Imran (3): 131.
[5] Al-Anfal (8): 25
[6] H.A. Salim, Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Taqdir dan Tawakkal, hal. 82.
[7] Drs. Sidi Gazalba, op. Cit., hal. 66-67.
[8] Ali Imran (3): 76.
[9] Al -Maidah (5): 8.
[10] Al-Baqarah (2): 237.
[11] At-Taubah (9): 7.
[12] Yunus (10): 62-63.
[13] Ali Imran (3): 200.
[14] Al-Hujurat (49): 13.
[15] Ali Imran (3): 102.
[16] M. Yunan Nasution, op. cit., hal. 18.
[17] At-Talaq (65): 2.
[18] At-Talaq (65): 4.
[19] Al-Anfal (8): 29.
[20] Al-A’raf (7): 96.
[21] An-Naba’ (78): 31.

3 komentar:

  1. ijin menyimak dan berguru untuk menambah wawasan sekaligus persaudaraan salam kenal dan hormat admin

    BalasHapus
  2. blog ini terdiri dari 2 subyek, 1) ikhlas, dan 2) takwa; jelas bagus karena mengutip dari sumbernya yang valid.gimana kalau disambung dengan yang ke 3) kaitan antara ikhlas dan takwa; bila mungkin, juga 4) kaitannya dengan kaffah. mksh

    BalasHapus
  3. blog ini terdiri dari 2 subyek, 1) ikhlas, dan 2) takwa; jelas bagus karena mengutip dari sumbernya yang valid.gimana kalau disambung dengan yang ke 3) kaitan antara ikhlas dan takwa; bila mungkin, juga 4) kaitannya dengan kaffah. mksh

    BalasHapus