Oleh
Elis Sofanawati
IKHLAS
Ikhlas adalah
sifat hati yang bersih dari campuran yang mencemarinya atau suatu yang murni,
dimana ketulusan adalah kunci keikhlasan dalam setiap tindakan tanpa adanya
dorongan riya’ dan takabur dalam sanubari.
Allah SWT telah berfirman dalam
Q.S. An-Nahl: 66,
“Berupa susu yang bersih di
antara tahi dan darah yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”.
Apabila suatu
perbuatan bersih dari riya’ dan ditujukan bagi Allah maka perbuatan itu
dianggap murni. Setiap hamba Allah memiliki kemampuan dan kemauan dalam
beribadah yang berbeda-beda. Sedangkan nilai ibadah seorang hamba di hadapan
Allah ditunjukkan dengan ikhlasnya dalam beramal. Tanpa keikhlasan takkan
berarti apa-apa amal seorang hamba karena tidak ada nilainya di sisi Allah.
Keikhlasan
seseorang benar-benar menjadi teramat sangat penting dan akan membuat hidup ini
menjadi lebih mudah. Balasan yang dinikmati hamba Allah yang ikhlas adalah akan
memperoleh pahala amal, walaupun amalan tersebut belum dilakukan. Di samping
itu akan merasakan ketenteraman jiwa dan batin karena dia tidak diperbudak oleh
penantian untuk mendapatkan pujian. Penghargaan atau imbalan dipuji atau tidak
sama saja. Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan
pribadi ataupun imbalan duniawi, konsentrasi orang ikhlas hanya satu yakni
bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah. Hamba Allah yang luas
mampu beribadah secara istiqomah dan terus kontinu. Orang yang ikhlas adalah orang
yang kualitas amalnya dalam kondisi ada atau tidak adanya orang yang
memperhatikan adalah sama. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas ibadahnya
justru lebih bagus ketika ada orang lain yang memperhatikannya. Pendapat sufi
tentang keikhlasan; Al-Susiy berkata “Keikhlasan itu adalah ketiadaan melihat
ikhlas. Karena barang siapa menyaksikan keikhlasan di dalam keikhlasan, maka
keikhlasannya membutuhkan keikhlasan”. Dikatakan Sahl “Manakah yang paling
berat terhadap nafsu? Sahl menjawab : Keikhlasan karena dia tidak punya bagian
dari keikhlasan”.
Ia berkata pula : “Keikhlasan
adalah tenangnya manusia dan gerak-geraknya karena Allah SWT semata-mata”.
Tanda-tanda ikhlas seorang hamba:
1.
tidak mencintai popularitas dan tidak
menonjolkan diri,
2.
tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian,
3.
tidak silau dan cinta jabatan,
4.
tidak diperbudak imbalan dan balas budi,
5.
tidak mudah kecewa,
6.
tidak membedakan amal yang besar dan amal yang
kecil,
7.
tidak fanatik golongan,
8.
ringan dan lahap dalam beramal,
9.
ridho dan marahnya bukan karena perasaan
pribadi,
10. tidak
membeda-bedakan pergaulan.
Keikhlasan
seorang abrar adalah apabila amal perbuatan telah bersih dari riya’ baik yang
jelas maupun tersamar, sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala
yang dijanjikan Allah SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah
ia merasa bahwa semua amal kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya
sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.
Dengan kata lain
amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal
karena Allah sedangkan amalan hamba yang muqarrabin dinamakan amalah billah,
yaitu beramal dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan
sekedar memperhatikan hukum dzakir. Sedangkan amal billah menembus ke
dalam perasaan kalbu. Kekuatan dahsyat adalah keikhlasan seorang hamba yang
muqarrabin yang senantiasa mendekatkan dirinya pada Allah Azza Wa Jalla.
TAKWA
Menurut arti
harfiah, takwa berarti hati-hati, ingat, mawas diri dan waspada. Kata takwa tidak
dapat diartikan sama dengan “takut”, karena sifat takut itu lebih banyak
bercampur dengan rasa benci. Padahal persoalan takwa ialah segi hubungan
manusia dengan Tuhannya, dimana tidak boleh terdapat dalam hubungan itu unsur
benci walaupun sedikit. Dalam pengertian umum - sebagaimana yang telah
dikemukakan berulang-ulang kali dalam pembahasan-pembahasan yang lalu takwa
ialah sikap mental orang-orang mukmin dan kepatuhannya dalam melaksanakan
perintah-perintah Allah SWT serta menjauhi larangan-larangan-Nya atas dasar
kecintaan semata.
Kriteria Orang-orang Takwa
Untuk memahami
takwa itu dengan sebaik-baiknya, sudah barang tentu Qur’anlah sebagai penuntun
bagi kita dalam memberikan penjelasan dan keterangan kepada kita. Menurut
Qur’an, kriteria orang-orang takwa sebagai berikut:
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian
rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab
(Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah
yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang
beruntung”.[1]
Berdasarkan atas
ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dapat dipahami bahwa takwa itu terdapat pada :
1.
Mereka yang beriman pada yang gaib seperti
adanya Allah, malaikat-malaikat dan hari akhirat.
2.
Mereka yang melaksanakan pokok-pokok ibadah
(terutama shalat, zakat, dan mereka yang berinfaq, membelanjakan hartanya di
jalan Allah). Ini menjadi bukti adanya iman bagi seseorang kepada yang gaib.
3.
Mereka beriman kepada yang gaib dan melaksanakan
pokok-pokok ibadah adalah orang-orang yang beruntung hidupnya, atau menurut
istilah lain, sukses. Beruntung dan sukses adalah cita-cita dan tujuan akhir
dari segala kerja-kerja manusia di dunia. Sebab itu bila seorang bertakwa maka
dia telah sampai pada derajat yang paling tinggi.
Lebih lanjut keterangan Qur’an
tentang takwa, sebagai berikut:
“Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari
Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka
kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”.[2]
Menurut ayat-ayat ini, kriteria
muttaqin (orang-orang takwa) ialah mereka yang:
a.
Selalu menuju kepada ampunan (maghfirah) Tuhan.
Artinya senantiasa bekerja sesuai dengan ridha Tuhan; bukan yang dilarang dan
yang dimurkai-Nya. Dan bila tersalah atau terlupa, cepat-cepat beristighfar
(mohon ampun) pada Tuhan.
b.
Suka menafkahkan (infaq) sebagian harta bendanya,
baik di waktu lapang maupun di waktu sempit. Membayar zakat memberi makanan
kepada fakir miskin dan anak-anak yatim, memberi sumbangan atau derma kepada
kegiatan dakwah Islam dan sebagainya, semuanya termasuk kategori menafkahkan
sebagian harta benda.
c.
Sanggup menahan amarahnya. Artinya orang yang
dapat mengendalikan emosi dan nafsunya. Kemampuan seseorang mengendalikan emosi
dan nafsunya membuat dia menjadi manusia besar, bukan besar fisik tetapi besar
jiwanya.
d.
Memaafkan kesalahan orang lain. Tidak menaruh
dendam terhadap seseorang karena sesuatu kesalahan, baik sengaja maupun tidak. Karena
dendam itu dapat membawa bencana terhadap diri sendiri, orang lain dan kepada
masyarakat.
e.
Berbuat baik, pemaaf dan jujur. Semua menjadi
tanda takwa kepada Allah.
f.
Apabila berbuat keji (faahisyah) dan menganiaya diri
sendiri, segera mengingat Allah lalu memohon ampun. Perbuatan faahisyah ialah dosa
besar yang mana bahayanya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang
lain, seperti: membunuh, zina,r iba. Sedang menganiaya diri sendiri ialah
melakukan dosa yang bahayanya terhadap diri sendiri saja.
g.
Tidak lagi meneruskan perbuatan dosanya ketika
dia mengetahui bahwa perbuatan itu mengandung dosa. Atau tidak mengulangi
kembali dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya secara
sadar.
Keterangan-keterangan tentang takwa
berdasar ayat-ayat ini menegaskan bahwa takwa itu adalah sikap hidup dan akhlak
seorang muslim, yang merupakan buah dan hasil didikan ibadah-ibadah pokok.
Sedang ibadah-ibadah itu sendiri adalah pancaran keluar daripada iman. Maka
dapatlah kita memahami bahwa takwa itu adalah hasil daripada ibadah kepada
Tuhan, karenanya tidak mungkin ada takwa tanpa ada ibadah. Tepat sebagaimana
firman Allah SWT:
“Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa”.[3]
Selanjutnya beberapa ayat yang
mengandung kata takwa, sebagai berikut:
“Awaslah kamu dari api neraka,
yang disediakan untuk orang-orang yang kafir”.[4]
“Berhati-hatilah kamu sekalian
terhadap malapetaka yang tidak hanya menimpa orang-orang jahat di antara kamu”.[5]
Pengertian takwa di sini kembali kepada
arti harfiahnya. H.A. Salim menerangkan : “… takwa lebih tepat disalin kata
“ingat” dengan makna awas, hati-hati. Yaitu menjaga diri, memelihara
keselamatan diri, yang dapat diusahakan dengan melakukan yang baik dan benar,
memantangkan yang jahat dan salah; seperti yang dikehendaki oleh takwa”.[6]
Dengan demikian pengertian takwa dalam
Surah Ali Imran: 131 dan dalam Surah Al-Anfal 25 tersebut, tidaklah berbeda
dengan takwa yang diterangkan dalam ayat-ayat yang lalu. Semua perkataan takwa
di sini menunjukkan buah ibadah seseorang.
Bila takwa diartikan awas, ingat, seperti
yang disimpulkan oleh H.A. Salim, maka tepatlah pengertian itu dan hubungan
dengan “api neraka” dan “malapetaka” seperti yang termaktub dalam kedua ayat
itu. “Awas” dan “hati-hati” merupakan sikap seseorang. “Sikap ini hanya dapat
dilahirkan oleh kesadaran. Kesadaran itu dilahirkan oleh ibadah, hubungan
muslim dengan Tuhan. Menyadari Tuhan sebagai Khaliq, Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha
Besar, Maha Suci, pendeknya segala maha yang bersifat esa, memberikan efek
kepada kesadaran akan diri sendiri dalam berhadapan dengan Tuhan. Siapakah aku
betapakah dan bagaimanakah aku, dari mana dan akan ke mana aku? Aku adalah
makhluk dari Khalik, aku adalah manusia, aku penuh dengan tenaga dan kelemahan,
aku nisbi dalam segala kesanggupan. Aku makhluk yang suatu ketika kembali kepada
Khaliq”.[7]
Takwa itu adalah puncak kehidupan ibadah
yang selalu dicari oleh setiap muslim. Tuhan selalu mendorong manusia untuk
mencapai tingkatan itu dan berusaha mempertahankannya setelah mendapatnya.
Demikianlah Tuhan mewajibkan kepada orang-orang beriman untuk berpuasa agar
mereka bertakwa (Al-Baqarah: 183). Sebab takwa itu akan menanamkan akhlak mulia
pada manusia yang efeknya bukan saja terhadap dirinya sendiri, tapi juga
terhadap masyarakatnya.
Berikut ini ada lagi beberapa kriteria
orang-orang yang takwa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, ialah mereka yang:
a.
Menepati janji
“Barang siapa yang menepati janjinya dan bertakwa,
maka sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang bertakwa”.[8]
b.
Menegakkan keadilan
“Tegakkanlah keadilan, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa”.[9]
c.
Bersifat pemaaf
“Kalau kamu memaafkan, maaf itu lebih dekat kepada
takwa”.[10]
d.
Bersifat istiqamah, yaitu berkepribadian kuat
dan teguh
“Selama mereka bersifat lurus kepadamu, hendaklah
kamu bersikap teguh hati (istiqamah) kepada mereka. Sesungguhnya Tuhan itu
menyukai orang-orang yang takwa”.[11]
e.
Tidak mempunyai rasa takut dan duka cita dalam
hidup yang berpancaroba, seperti sifatnya wali-wali Allah
“Sesungguhnya wali-wali Allah, mereka tidak merasa
takut dan tidak berduka cita. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa”.[12]
f.
Sabar, yaitu orang yang tabah, tahan uji,
pantang menyerah dan tidak berputus asa. Sabar dalam beribadah, sabar dalam
berjihad, sabar menghadapi musibah, sabar dari perbuatan maksiat dan sabar dari
godaan duniawi.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetap bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah,
supaya kamu beruntung (sukses)”.[13]
Takwa Sumber Kemenangan
Manusia yang berhasil mencapai derajat
takwa kemudian berusaha mempertahankannya terus, dipandang sebagai manusia yang
sukses ibadahnya. Ia laksana sebatang pohon yang baik, yang ditanam serta
dipelihara, ia telah berbuah kemudian memberikan kenikmatan kepada manusia.
Karena itu Tuhan menempatkan manusia takwa sebagai manusia paling mulia dan
dalam pandangan-Nya.
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu”.[14]
Sebab itulah pula maka derajat takwa menjadi
tujuan hidup kaum muslimin dalam hidupnya di dunia ini. Maka tiap-tiap Jum’at,
khatib wajib selalu menasihatkan melalui mimbar Jum’at kepada hadirin untuk
bertakwa dengan membacakan panggilan Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan muslim”[15]
Hubungan dengan Tuhan bagi manusia yang
hidup dalam berbagai persoalan duniawi, amatlah pentingnya. Orang-orang besar
yang menjadi pemimpin-pemimpin dunia, sangat memahami persoalan ini. Sebagai
contoh, baiklah di sini kita kutip pertanyaan dua orang besar, sebagaimana yang
dicatat oleh M. Yunan Nasution.[16]
Mahatma Gandi, pemimpin dunia yang dalam
perjuangannya dibesarkan dengan pukulan, pernah menyatakan : “Kalau tidaklah
karena kepercayaan, sudah lama saya hancur” (without prayer, I should have
been a lunatic long ago). Dan Arnold Toynbee, historikus Inggris yang
terkenal itu, pernah menyatakan antara lain: “Religion indispensable for human beings, and
without it, the existence of man was not possible. Religion was essential for
solving the most complicated problems of the individual and the society. In
modern scientific advancement, religion has still to play a better and
important hole for the preservation of the personality of man”
(Agama sangat diperlukan bagi hidup manusia. Tanpa agama, keadaan manusia tak
mungkin bertahan. Agama mutlak untuk memecahkan persoalan-persoalan yang paling
ruwet dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Dalam dunia kemajuan pengetahuan
modern, agama itu memainkan peranan yang lebih baik dan penting untuk
melindungi kepribadian manusia).
Orang-orang yang berusaha selalu mendekat
Tuhan, tentu Tuhan selalu menyertainya pula, sehingga mudahlah baginya menempuh
perjalanan hidupnya.
Maka orang-orang mukmin yang bertakwa,
pasti mempunyai kekuatan yang mampu menghadapi segala macam problematika hidup,
sanggup mengatasi saat-saat yang kritis, dapat mendobrak jalan-jalan buntu yang
menghambat, bisa melihat sinar yang menerangi jalan di tengah-tengah malam yang
gelap gulita. Pendek kata, takwa membukakan way out kepadanya, dari
setiap problem dan situasi yang kritis. Tepat benar janji Allah SWT:
“Barang siapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.[17]
“Dan barang siapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusan-urusan
(yang dihadapinya)”.[18]
“Jika kamu bertaqwa kepada
Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan”.[19]
Demikianlah
agama Islam ini membina kehidupan manusia, diawali dengan tauhid. Dan dari
tauhid menebarkan iman dan aqidah yang membuahkan amal ibadah dan amal shalih.
Akhirnya amal ibadah yang dijiwai oleh iman dan dipelihara terus menerus,
menciptakan suatu sikap hidup muslim yang bernama takwa.
Maka apabila
dalam suatu hidup kenegaraan, takwa menjadi sendinya dimana penguasa dan rakyat
hidup bertakwa, tentu kehidupan kenegaraan itu mendapat karunia dan ridha Allah
SWT. Kalau penguasa suatu negeri, yang mana selalu menjadi sumber teladan
rakyat, keamanan dan ketenteramannya, memiliki sifat-sifat takwa dari minimal
enam sifat-sifat takwa yang telah disebut yang lalu, niscaya bereslah segala
soal.
Apa sebab segala
soal dapat beres? Sungguh besar efek bagi rakyat terhadap penguasa yang
menepati janji, disiplin menegakkan keadilan (melaksanakan rule of law)
dan bersifat pemaaf, artinya tidak bertabiat hasad, dengki dan balas dendam. Di
samping itu kepada rakyat ditanamkan jiwa istiqamah, yaitu pribadi yang teguh
dan kuat, serta tidak ada rasa takut dan duka cita, tetapi selalu optimis dalam
hidup. Ketenteraman, keamanan dan hak-hak rakyat dibelanya dengan sesungguhnya.
Jika para penguasa dan pemimpin menjadi pelopor dalam takwa, pastilah terwujud
suatu negara yang adil dan makmur di bawah naungan ridha Allah SWT. Itulah
kemenangan hakiki!
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”[20]
“Sesungguhnya
orang-orang yang bertaqwa (muttaqin) mendapat kemenangan”[21]
Jadi kesimpulannya : “takwa sumber
kemenangan!”.
Daftar Pustaka
Nasruddin Razak, Drs., Dienul
Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989.
[1]
Al-Baqarah (2): 1-5
[2] Ali
Imran (3): 133-136
[3]
Al-Baqarah (2): 21.
[4] Ali
Imran (3): 131.
[5] Al-Anfal
(8): 25
[6] H.A.
Salim, Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Taqdir dan Tawakkal, hal. 82.
[7] Drs.
Sidi Gazalba, op. Cit., hal. 66-67.
[8] Ali
Imran (3): 76.
[9] Al -Maidah
(5): 8.
[10]
Al-Baqarah (2): 237.
[11]
At-Taubah (9): 7.
[12] Yunus
(10): 62-63.
[13] Ali
Imran (3): 200.
[14]
Al-Hujurat (49): 13.
[15] Ali
Imran (3): 102.
[16] M.
Yunan Nasution, op. cit., hal. 18.
[17]
At-Talaq (65): 2.
[18]
At-Talaq (65): 4.
[19]
Al-Anfal (8): 29.
[20]
Al-A’raf (7): 96.
[21]
An-Naba’ (78): 31.
ijin menyimak dan berguru untuk menambah wawasan sekaligus persaudaraan salam kenal dan hormat admin
BalasHapusblog ini terdiri dari 2 subyek, 1) ikhlas, dan 2) takwa; jelas bagus karena mengutip dari sumbernya yang valid.gimana kalau disambung dengan yang ke 3) kaitan antara ikhlas dan takwa; bila mungkin, juga 4) kaitannya dengan kaffah. mksh
BalasHapusblog ini terdiri dari 2 subyek, 1) ikhlas, dan 2) takwa; jelas bagus karena mengutip dari sumbernya yang valid.gimana kalau disambung dengan yang ke 3) kaitan antara ikhlas dan takwa; bila mungkin, juga 4) kaitannya dengan kaffah. mksh
BalasHapus