MAKALAH
IDDAH DALAM ISLAM
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
Fikih yang di ampu oleh Bpk Machfudz,
M.Ag.
Disusun Oleh :
1.
Akhmad Lthfi Ali
2.
Indrayati
3.
Rofikoh Annur
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
(FITK)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
B.Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi iddah
B.
Macam-macam iddah
C.
Hak perempuan dalam iddah
D.
Hikmah adanya iddah
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
SARAN DAN KRITIK
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
.Latar
Belakang
Sebagian orang ada yang menyatakan
bahwa ‘iddah’ kini sudah tidak perlu lagi bagi seorang janda yang sudah
bercerai atau karena ditinggal suaminya. Alasannya adalah dengan penelitian
laboraturium, kini sudah dapat diketahui jika ternyata kandungan dianggap
“bersih” atau tidak ada calon bayi yang dikandung.[1]
Orang-orang seperti ini tentu
menganggap perceraian sama seperti mengganti pakaian, mobil, atau rumah, dimana
kita dapat langsung mencari pengganti lagi yang baru ketika yang lama sudah
tidak terpakai.
Hidum manusia sebagaimana juga
sebuah ikatan pernikahan, tentu tidak bisa dipahami sepicik itu, karena ada
hikmah agung dibalik disaratkannya iddah.
Dalam makalah yang kami buat ini,
maka kami akan memaparkan masa iddah dan hal-hal yang berkaitan, maka kami akan
merinci dalam rumusan masalah sebagai berikut ini:
Rumusan
Masalah
A.
Apa definisi Iddah?
B.
Apa saja macam-macam
Iddah?
C.
Bagaimana hak perempuan dalam Iddah?
D.
Apa hikmah adanya
Iddah?
Tujuannya
A. Untuk
mengetahui apa itu Iddah yang sebenarnya.
B. Untuk
mengetahui apa saja macam-macam Iddah.
C. Untuk
mengetahui bagaimana hak perempuan pada masa Iddah.
D. Untuk
mengetahui hikmah apa saja yang didapat dengan adanya Iddah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Iddah
Iddah ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata
adad yang artinya perhitungan. Maksudnya yaitu setelah isteri terceraikan atau
ditinggal mati suaminya maka isteri tersebut menghitung hari-harinya dan masa
bersihnya. Sedangkan menurut istilah adalah masa menunggu bagi wanita
yang dicerai maupun ditinggal mati, pada masa tersebut isteri menunggu,tidak
boleh menikah dengan orang lain.[2]
Masa iddah sudah dikenal dari zaman
Jahilliyah.Para ulama menyepakati iddah itu wajib hukumnya.Juga Allah telah
berfirman pada
Q.S.
Al-Baqarah ayat 228 yang artinya:
“Dan perempuan yang terthalaq hendaklah ia menahan diri tiga kali
quru’….”
B. Macam Macam Iddah[3]
Iddah ada beberapa macam yaitu:
1) Iddah isteri yang berhaid,yaitu tiga kali haid (quru’).
Ketika
seorang wanita diceraikan dan masih masa subur atau dapat haid maka iddahnya
tiga kali haid.Sebagaimana yang diterangkan pada surat Al-Baqarah ayat 228
diatas.
2) Iddah isteri yang mati haid,yaitu tiga bulan.
Wanita
yang dicerai tetapi sudah tidak bisa haid atau sudah tidak dalam usia subur,atau
masih anak-anak yang belum baligh,atau sama sekali tidak haid sebelumnya maka
masa iddahnya tiga bulan.
3) Iddah isteri karena kematian suami,yaitu empat bulan sepuluh hari.
Seorang
istri yang ditinggal mati oleh suaminya maka iddahnya empat bulan sepuluh
hari,hal tersebut untuk menghormati kepada suami dan tidak boleh menikah selama
waktu tersebut.
4) Iddah isteri hamil,yaitu sampai melahirkan.
Apabila
seorang isteri yang sedang hamil lalu ditinggal oleh suaminya karena thalaq
ataupun meninggal maka iddahnya setelah wanita tersebut melahirkan.Diterangkan
oleh Allah SWT dalam surat At-Thalaq:4 yang artinya:
“Dan
orang-orang yang putus haid di antara kamu (suami-isteri) jika kamu ragu,maka
iddah mereka itu tiga bulan.Dan perempuan-perempuan yang tidak haid serta
perempuan-perempuan yang hamil masa iddah mereka itu sesudah mereka
melahirkan….”
5) Iddah isteri yang belum disetubuhi ada kalanya saat suami masih hidup dan ada saat sudah meninggal.
Belum
disetubuhi suami masih hidup:
Isteri
yang ditalaq suaminya yang masih hidup namun belum disetubuhi maka ia boleh
menikah dengan orang lain tanpa menunggu beberapa hari. Bahwa diterangkan dalam
Al-Qur’an surat Al-Ahzab:49 yang artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman…..! jika kamu mengawini perempuan-perempuan Mukminah
kemudian kamu thalaq sebelum kamu sentuh (setubuh) mereka,maka bagi kamu tak
ada keharusan menghitung masa iddah mereka”.
Belum
disetubuhi namun suami meninggal:
Namun
jika talaq karena suaminya meninggal dan belum disetubuhi maka isteri tersebut
memiliki masa iddah seperti orang sudah disetubuhi yaitu empat bulan sepuluh
hari,karena untuk menghormati suaminya.Dan sudah diterangkan dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah:234 yang artinya:
“Dan
orang-orang yang telah meninggal diantara kamu sedangkan mereka maninggalkan
isteri,maka hendaklah mereka (isteri-isteri) ini menahan diri selama empat
bulan sepuluh hari”
Ada perselisian dalam hal mengenai
perempuan yang cerai mati, sedangkan ia hamil dan anaknya lahir sebelum cukup 4
bulan 10 hari terhitung dari meninggalnya suaminya. Apakah iddah-nya
habis dengan melahirkan anak; dan berarti apabila anaknya lahir, walaupun belum
cukup 4 bulan 10 hari dari meninggal suaminya, iddah-nya sudah habis
habis, karena merdasarkan umumnya keterangan surat At-Thalaq:4? Ataukah
dicukupkan empat bulan sepuluh hari, karena menurut surat Al-Baqarah:234,
artinya apabila anaknya lahir sebelum 4 bulan 10 hari, iddahnya harus menunggu
sampai cukup 4 bulan 10 hari?[4]
Menurut
jumhur salaf, iddah-nya habis setelah anaknya lahir, walaupun belum
cukup 4 bulan 10 hari. Menurut pendapat lain yang diriwayatka oleh Ali,
iddah-nya harus mengambil waktu yang lebih panjang daripada salah satu diantara
kedua iddah itu. Artinya apabila anknya lahir sebelum 4 bulan 10 hari, iddah-nya
harus menunggu sampai cukup 4 bulan 10 hari; dan apabila telah sampai 4 bulan
10 hari belum lahir juga, maka iddah-nya harus menunggu sampai anaknya
lahir.[5]
C.
Hak perempuan dalam iddah[6]
1. perempuan
yang taat pada iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal (rumah), pakaian,
dan segala keperluaan hidupnya, dari yang menalaknya (bekas suaminya); kecualai
istri yang durhaka, tidak menerima apa-apa.
Rosulullah
Saw bersabda yang artinya:
Dari
Fatiamah binti Qais, “Rasululloh Saw. Telah bersabda, kepadanya, ‘Perempuan
yang berhak mengambil dan rumah kediaman dari bekas suaminya itu apabila bekas
suaminya itu berhak rujuk kepadanya’.”
(Riwayat Ahmad dan Nasai)
2. Perempuan
yang iddah bain, Kalau dia mengandung, ia berhak juga atas kediaman,
nafkah, dan pakaian.
Allah Swt berfirman yang artinya “Dan jika mereka (istri-istri
yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin.” (At-Talaq:6)
3. Perempuan
dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus atau
talak tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak yang lainnya.
Allah Swt berfirman yang artinya “Tempatkanlah mereka (para
istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (At-Talaq:6)
Sebagian ulama berpendapat
bahwa bain yang tidak hamil, tidak berhak mendapat nafkah dan tidak pula tempat
tinggal.
Rasulullah Saw bersabda yang artinya “Dari Fatimah binti
Qais,dari Nabi Saw., mengenai perempuan yang ditalak tiga. Sabda Rasulullah,”Ia
tidah berhak atas tempat tinggal dan tidak pula atas nafkah.” (Riwayat Ahmad
dan Muslim).
Adapun firman Allah dalam surat At-Talaq ayat 6 tersebut di
atas, menurut mereka hanya berlaku untuk perempuan yang dalam iddah raj’iyah.
4. Perempuan
yang dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun
dia mengandung, karena dia dan anak yang berada dalam kandungannya telah
mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal dunia.
Rasulullah Saw bersabda yang artinya “Janda hamil yang
kematian suaminya tidak berhak mendapat nafkah. (Riwayat Daruqutni).
D. Adapun hikmah adanya
masa iddah antara lain:[7]
1. Untuk
mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan sehingga tidak tercampur antara
keturunan seorang dengan yang lain.
2. Hikmah
‘iddah dalam talak raj’I adalah agar batin dari masing-masing pihak
dapat kembali tenang dan agar “air kembali mengalir sesuai jalurnya”. Si suami
juga masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya, dia dapat melakukan
rujuk tanpa akad baru dan tanpa mahar. Adapun ‘iddah dalam talak bain
mengandung hikmah agar batin masing-masing pihak kembali tenang dan agar mereka
dapat melihat jauh ke depan untuk menjalani kehidupan.
3. Menjunjung
tnggi masalah perkawinan yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang yang arif
mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberikan
kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar
disusun, sebentar lagi dirusaknya.
4. Membiri
kesempatan kepada suami-istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan
semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
A. Iddah
merupakan masa menunggu bagi wanita yang dicerai maupun ditinggal mati, pada
masa tersebut isteri menunggu,tidak boleh menikah dengan orang lain.
B. Macam-macam
iddah
·
Iddah istri yang
berhaid
·
Iddah istri yang mati
haid
·
Iddah istri karena
kematian suami
·
Iddah istri hamil
·
Iddah istri yang belum
disetubuhi
Þ
Belum disetubuhi suami
masih hidup
Þ
Belum disetubuhi tapi
suami sudah meninggal
C. Hak
perempuan dalam iddah
·
Istri yang di talak
raj’I berhak menerima tempat tinggal (rumah), pakaian, dan segala keperluaan
hidupnya, dari yang menalaknya (bekas suaminya).
·
Perempuan yang iddah
bain, Kalau dia mengandung, ia berhak juga atas kediaman, nafkah, dan
pakaian.
·
Perempuan dalam iddah
bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus atau talak tiga, hanya
berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak yang lainnya.
·
Perempuan yang dalam iddah
wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun dia mengandung.
D. Hikmah
dari Iddah
·
Untuk mengetahui
bersihnya rahim seorang perempuan sehingga tidak tercampur antara keturunan
seorang dengan yang lain.
·
agar batin dari
masing-masing pihak dapat kembali tenang dan agar mereka dapat melihat jauh ke
depan untuk menjalani kehidupan.
·
Menjunjung tnggi
masalah perkawinan yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang yang arif
mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang.
·
Membiri kesempatan
kepada suami-istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula, jika
mereka menganggap hal tersebut baik.
SARAN
DAN KRITIK
Sebelumnya kami ucapkan banyak
terimakasih kepada Drs. Machfud M.Pd, selaku dosen Fikih yang telah memberi
tugas ini sebagai bahan rujukan. Dan mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kami maupun yang membaca atau yang lain.
Kami sadar dalam pembuatan makalah
ini banyak kekurangan dan kesalahan, karena penulis mengingat kalimat yang
bebunyi : “Apabila suatu pekerjaan telah selesai (sempurna) maka akan tampak
suatu kekurangan” , terkait dengan hal itu kami sangat membutuhkan saran
dan kritik yang tentunya membangun untuk penyempurnaan makalah ini atau
kedepan. Terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Musayyar, M. Sayyid Ahmad. IslamBicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah
Tangga. Penerbit Erlangga. 2008. TK.
Sabiq,
Sayyid. Fikih Sunnah, 1987.
Alma’arif, Bandung.
Rasyid,
Sulaiman. Fiqh Islam, 2010. Penerbit
Sinar Baru Algensindo, Bandung.
[1] Musayyar, M. Sayyid
Ahmad. IslamBicara Soal Seks, Percintaan,
dan Rumah Tangga. Penerbit Erlangga. 2008. TK. Hal 268.