Pages

17 April 2013

BUDAYA RUWAT SELAMATAN BUMI




Oleh Nafsiyah


  1.  LATAR  BELAKANG
Tradisi ini ada sejak zaman dulu,khususnya didesa PRENDENGAN,kec. Banjarmangu, kab. Banjarnegara. Menurut cerita warga setempat tradisi ini bermulai dengan kejadian pada masa lampau, yang pada waktu itu, di desa ini mengalami kekringan yang cukup lama, dan juga disertai hama tikus yang menyerang tanaman padi, sehingga pada tahun tersebut warga desa ini gagal panen, dan apabila kejadian ini dibiarkan begitu saja akan berakibat tidak baik. 
Maka ditengah kebimbangan masyarakat, ada seorang tokoh yang memang dihormati pada kala itu, ia mengusulkan bagaimana jika masyarakat mengadakan acara ruwatan dengan tujuan untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan serta untuk berharap kemakmuran dikehidupan generasi selanjutnya.
Dengan demikian diadakanlah perkumpulan desa, dengan tujuan merundingkan pendapat salah satu tokoh tersebut,dan akhirnya pendapat ini disetujui oleh masyarakat setempat, mereka berfikiran apa salahnya mencoba, selagi hal ini masih bisa dikatakan baik, justru akan membawa kemaslahatan bagi kehidupan mereka. Hingga sekarang perlu disyukuri karena peristiwa kemarau berkepanjangan dan hama tikus yang tersebut tidak menyerang kembali, maka acara ruwatan ini masih dijalankan sebagai salah satu ungkapan rasa syukur.
  1. TEKNIS PELAKSANAAN
Budaya ruwatan ini biasanya dilaksanakan pada tanggal 1 suro, “memilih tanggal ini karena menurut pada tanggal ini lebik baik dari tanggal lain, alasanya, selain ini awal tahun baru, mudah diingat, dan doa yang nanti akan dipanjatkan bertujuan untuk mensyukuri nikmat tahun lalu, dan mengharap barokah pada tahun selanjutnya yang dimulai pada tanggal 1 bulan assuro/muharom”. Diungkapakan oleh  bpk.amin, 1/12/2012, salah satu warga desa.
Acara ini diawali dengan kegiatan tahlilan pada malam tanggal satunya,dan pada siang tanggal satunya ada pergelaran seni (kuda lumping), pertunjukan ini berlangsung hingga sore hari,dan malam tanggal 2 dilanjutkan dengan pergelaran wayang dan sekaligus disertai dengan penampilan budaya ‘lengger’,dan dilanjutkan deng pembacaan doa.
Doa ini biasanya dipimpin oleh sang dalang wayang tersebut. Acara ini berlanjut hingga biasanya pada pukul 03.00 pagi hari,perlu diketahui bahwa pergelaran budaya disini bukan sekedar hiburan semata, tetapi ada pesan tersirat seperti halnya menanamkan moral dan perilaku yang menjadi teladan bagi setiap orang yang menyaksikan khusunya pada pergelaran budaya wayang.
 Pada tanggal 2 tersebut adalah puncaknya acara ini,biasanya, para ibu rumah tangga menyajikan makanan sejenis tumpeng,dan berkumpul di sepanjang jalan(gang),akan tetapi yang ikut berkumpul bukan hanya ibu ibu yang menyediakan tumpeng saja, anak-anak juga ikut serta,setelah semua berkumpul kemudian ada seorang tokoh masyarakat yang masuk kedalam masjid pusat desa,lalu membaca doa, doa tersebut ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai ucapan rasa syuku,r salah satunya syukur atas selamatnya bumi yang kita pijak. Setelah doa selesai dipanjatkan, biasanya mereka saling bertukar makanan satu sama lain, hal ini menunjukan bahwa di desa tersebut msih ada rasa kebersamaan yang masih begitu erat.
  1. ANALISA
Menurut saya, budaya ini  sangat perlu dilestarikan, yang memang pada zaman akhir-akhir ini budaya wayang sudah sangat amat jarang, minat akan  budaya perwayangan ini sangat rendah dikalangan remaja masa kini. Dengan adanya acara ini,selain bertujuan untuk melestarikan budaya wayang. Dilihat dari sisi social, hal ini dapat menjadi salah satu sarana pemersatu/gotong royong para warga, serta menjadi hiburan yang mempunyai keistimewaan tersendiri, karena biasanya menceritakan asal mula atau kejadian yang terjadi di desa tersebut. Dari  sisi religinya sangat bagus,
tujuan utamanya adalah mensyukuri kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa keselamatan bumi yang dipijak. Satu lagi yang perlu dietahui yaitu supaya kita ingat selalu terhadap sang pencipta.
Hanya saja ada yang memang harus dikurangi, atau dengan bahasa halusnya diperbaiki kembali, salah satuya adalah ketika pelaksanaan wayang yang disertai budaya lengger, dalam hal ini,bukan budaya lenggernya yang mungkin salah, tetapi karena anggota lengger tersebut identic dengan pakaian-pakaian yang minim,membuka aurat yang berlebih, juga cara ataupun pelaksanaanya yang kurang tertata,sehingga sering terjadi hal hal yang tidak diinginkan, seperti halnya ‘nyawer lengger’ atau yang lain,yang dapat menyebabkan kemaksiatan, akibatnya sangat fatal, terutama bagi orang orang yang sudah beristri. Istri akan merasa malu,cemburu yang itu merupakan penyebab awal dari pertengkaran rumah tangga, dan memang tidak jarang saya jumpai kasus demikian.
Lalu, untuk mengantisipasi hal tersebut agar tidak terjadi, maka seharusnya ketua/pemimpin acara tersebut mengatur atau dengan kata lain membuat peraturan khususnya bagi anggota lengger agar tidak terlalu seronok dalam berseragam dan membatasi waktu yang lebih efisien, ketika hal ini tidak bisa dilakukan/deterapkan, menurut saya lebih baik dalam pergelaran budaya ini tidak perlu disertai dengan budaya lengger.
Perlu diketahui bahwasanya acara ini bukan sebuah kepercayaan. Dan bukan berarti masyarakat desa ini menggantungkan nasib/takdir pada acara ini, ruwatan ini hanya salah satu bentuk rasa syukur dengan apa yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan pengharapan agar supaya kedepanya dapat lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar