Pages

2 Juli 2013

Sejarah Islam Modern Pasca Tragedi 11 September




Oleh : Akhmad Luthfi Ali
Kelas : PAI 2C
I.      Pendahuluan
           Tragedi 11 September 2001, atau 911 tragedi itu, menjadi momentum yang sangat menentukan dalam perjalan sejarah islam. Peristiwa tersebut diakui sebagai peristiwa yang semakin memperuncing hubungan Barat dan Islam yang selama ini memang saling mencurigai. Peristiwa tersebut memperkuat pandangan Barat atas dunia islam (terutama AS), bahwa Islam, khususnya kaum radikalnya, terbukti menjadi bagian dari ancaman serius bagi dunia. Barat yang selama ini menangkap pesan-pesan damai dan kebaikan yang menjadi inti dari ajaran agama islam, secara tiba-tiba bereubah dan lenyap dan tergantikan oleh kebencian yang memuncak terhadap islam. Tidak sedikit yang menolak memperdebatkan persoalan ini pada ranah kebijakan luar negri pemerintah AS dan kebjakan keamanan nasional AS, tetapi lebih sebagai peristiwa murni serangan brutal yang juga harus diselesaikan secara militer dengan cara berperang. Selain itu karna tragedi tersebut, maka image Barat terhadap Islam semakin negatif bahkan sudah sampai level mengerikan yakni gejala ketakutan yang dikenal dengan Islamphobia. M.Abu Robi’ mencoba mengkaji tragedi tersebut dalam perspektif sejarah. Dan makalah ini akan memberikan sedikit pengetahuan buat kita tentang pandangan islam dimasa kini.

II.   Rumusan Masalah
       Dengan segala keterbatasan tim penulis, maka dalam makalah ini tidak akan dijabarkan satu persatu secara rinci, tapi akan dibahas beberapa sup pokok bahasan seperti :
a.      Pandangn islam menurut Abu Robi’, dimana akan diuraikan empat poin penting yang perlu dipertimbangkan.
b.     Pendidikan di dunia muslim, yaitu apakah sudah moderen ataukah masih tradisional.
c.      Relevansi pemikiran M.Abu Robi’ dalam konteks Religion, Sains dan Cultur.




III.    Pembahasan
           Sering kali kita dibuat bingung antara Pemikiran Islam dan Islam itu sendiri. Menurut sejarawan Arab Ibnu Khaldun bahwa Pemikiran Islam merujuk pada seluruh perkembangan ilmu pengetahuan Muslim seperti al-Qur’an, hadith,fiqh, kalam, dan sufi. Sementara Islam yang dimaksut adalah pemikiran yang merujuk kepada wahyu yang kekal dan Islam tetap sebagai agama yang suci. Selain itu Pemikiran Islam tunduk terhadap perubahan, sedangkan Islam tidak. Menurut Abu Robi’ pemilihan seperti itu sangat berguna meskipun dalam pembahasan/anilisis ahirnya tidak memuaskan. Oleh karena itu, dalam membahas Islam, dalam Pandangan Abu Robi’ terdapat emat poin penting yang perlu dipertimbangkan, yakni:
           Pertama; ranah filosofis/ teologis/ idiologi. Islam menjadi problem filsafat, teologi,dan idiologi dalam memikirkan Arab modern. Sebagian orang membicarakan sosok Islam elit, yakni islam resmi (official Islam), sedangkan ang lain membicarakan islam populer (oppositional Islam).kedua posisi pengamatan tersebut sepakat, islam dapat menjadi kekuatan yang bersifat “passif” maupun “revolusioner” dalam masyarakat. Bahkan ada yang lebih berani berpendapat, konsep islam sebagai “wahyu” tidak lagi dapat dipertahankan, dan apa yang di sebut Islam tidak lain adalah apa yang di buat seseorang, kelompok atau masyarakat dengan mengatasnamakan Islam.Islam dapat “ digunakan “ sebagai alat gerak untuk meraih kemajuan atau sebagai alat  pembenar kesenjangan ekonomi atau sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, menurut pendapat ini, Islam tidak dapat diistimewakan sebagai entitas yang “suci”. Secara tidak langsung  bahwa Islam tersusupi oleh lebih dari satu oengertian atau definisi.
           Kedua; ranah teologis. Pada dataran teologis, Islam memperoleh makna yang terbuka (open-ended), sejak percaya kepada Tuhan yang satu sampai ketersambungan teologis dengan seluruh wahyu yang mendahuluinya, sedang yang lain, dapat dipahami dengan pengertian yang sederhana sebagai “penyerahan diri sebagai Tuhan yang satu “ Dengan lain ungkapan, seorang dapat meneliti atau menguji sifat dasar teologi Islam dari perspektif sejarah agama-agama khususnya dari Kristen dan Yahudi. Atau orang dapat melihat islam dari sudut pandang teologi inklusif, yakni keesaan Tuhan.
         Ketiga; ranah teks (nash). Teks (nash) adalah inti pokok kebudayaan Islam. Menurut pendapat umum ahli-ahli hukum Islam, baik al-Qur’an maupun al-Hadith membentuk dasar-dasar tekstual Islam, yang memuat dasar-dasar pokok teologi Islam. Oleh karena itu, dapat dibearkan untuk mengatakan bahwa sejak mula sejarah Islam, sudah ada hubungan dialektis antara teks dan sejarah manusia dan antara teks dan pemikiran manusia. Dengan kata lain, sejarah dan pemikiran manusia merupakan hasil perpaduan yang sangat komplek antara yang bersifat “manusia” (human) dan yang bersifat “ketuhanan/keilahian” (diven); atau antara tulisan keagamaan (religious) dan faktor-faktor sosial ekonomi dan politik.
                  Ke-empat; Ranah realitas antropologi. Memang benar Islam memiliki sisi normatif. Namun demikian dalam evolusinya perkembangan sejarahnya, Islam telah mendorong lahirnya tradisi kultural, sosial, literer, filosofis, dan politis yang komplek yang sampai sekarang masih membentuk pandangan hidup masyarakat muslm.Islam telah menjadi isu yang menarik dalam hal-hal yang terkait dengan kekuasaan dan organisasi sosial dan politik. Banyak berbagai gerakan intelektual dan politik telah menafsirkan tradisi ini berbeda-beda. Dalam pengertian ini tradisi dapat berarti sebagai kekuatan yang bersifat pasif maupun revolusioner.
                  Dalam pemikiran  Abu Robi’ melalui survei historisnya, selain menyetujui keempat pendekatan tersebut di atas juga memandang perlunya sosiolohi agama. Agama dalam konteks ini dipandang memiliki kekuatan yang cukup sebagai mana keempat konteks diatas untuk melakukan perubahn sosial yang lebih nyata.
          
                 Disadari atau tidak, pendidikan agama tidak dimodernisasikan secara memadai. Pasca-kemerdekaannya, beberapa negara muslim seperti Mesir, Indonesia, dan Pakistan mencoba memodernisasikan secara memadai. Ada beberapa premis untuk mendiskusikan pertanyaan modern atau tradisionalkah pendidikan didunia muslim diatas.
           Pertama, para elit militer dan politik aktif memberi dukungan kepada lembaga-lembaga pendidikan tradisional hanya untuk mempertahankan status que. Ada simbiosis mutualisme antara pendidikan dan kekuasan.
           Kedua, karena sentral dan sensitifnya islam, menginterfensi konstruksi modern studi-studi keislaman untuk menjamin netralitas agama dalam problem-problem sosial politik. Akibatnua, study Islam terbatas pada lapangn tertutup, yaitu balaghah (teori Arab) dan nahwu (tata bahasa Arab)
           Ketiga,      perspektif sosial dan filsafat kritik tidak ada. Kenyataannya, sebagian besar mahasiswa yang memperoleh biyasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan sekolah diluar negri, khususnya di negara-negara Teluk, hanya belajar ilmu pengetahuan keras atau atministrasi bisnis, yaitu matakuliah yang bebas nilai dan bebas kritik. Abu Robi’ yang menetap sekitar 20 tahun di AS tidak menemukan satupun mahasiswa yang mengambil ilmu politik, filsafat, atau sejarah. Fakta menunjukkan betapa sulitnya beberapa negara Arab untuk mengejar pertumbuhan tradisi ilmiah.
                 Keempat, studi Islam hanya berputar pada kajian syari’ah dan fiqh yang kosong dari muatan kritik politik dan kosong dari relevansi situasi kekinian.
           Kelima, ada pembeda yang sangat jelas antara teologi dan politik atau antara teologi dan sosial. Teologi dipahami sebagai ritus, simbul, dan hanya berupa teks-teks sejarah. Hal itu menimbulkan ketegangan antara pemikiran dan realitas, antara islam dan realitas. Masyarakat sangat paham dengan teks-teks Islam tetapi tidak tahu bagaimana menguji teks-teks secara kritis dalam hubungannya dengan kondisi sosial politik sekitarnya. Intelektual negri ini hanya mendiskusikan persoalan-persoalan teologi yang sangat ringan atau mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang sudah mati ratusan tahun yang lalu.
           Dari kelima premis diatas dapat diketahui bahwa pendidikan sekuler di Negara muslim juga tidak lebih baik dari pendidikan tradisional. Elit terpelajar sekuler kita adalah orang yang tidak memiliki kemandirian sikap, tidak mengindahkan moral, dan hanya intelelektual upahan.
           Pemikiran Abu Robi’ menunjukan adanya kegelisahan akademik yang memiliki relevansi dengan studi agama, sains dan budaya. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas dimana ranah filosofis, teologis dan idiologis sudah saatnya dikedepankan dibandingkan dengan pandangan islam sebagai realitas wahyu yang tidak ramah dengan realitas sekarang. Abu Robi’ juga memiliki relevansi saling berinteraksi antara sains dengan agama sebagaimana dalam ranah ketuhanan (divene) dan ranah kemanusiaan (humanity) dan antara persoalan keagaman (religious) dengan persoalan ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia. Dapat dikatakan hal ini menunjukkan adanya relevansi antara agama dengan ilmu yang lain, yang saling menopang satu dengan yang lain. Sehingga mendorong lahirnya tradisi, literal, filosofis dan politis yang komplek.  
          

  
IV.    Kesimpulan
                  Islam yang baik dan yang benar itu tidak hanya mementingkan aspek filosofis teologis/ idiologisya saja, tidak hanya mengutamakan aspek teologinya saja, tidak hanya berpathok di ranah teks saja, dan tidak hanya mementingkan realitas antropologi. Tetapi keempan unsur tersebut harus di jadikan satu kesatuan komponen, dan sudah saatnya dikedepankan, karena untuk menjawab masalah atau problematik di era sekarang tidak bisa di selesaikan hanya dengan satu ilmu tetapi harus di selesaikan dengan dilihat terlebi dahulu persoalan dengan secara menggelobal selain itu kesaling terhubungan antara disiplin keilmuan  yang satu dengan ilmu yang lain sangt berpengaruh demi terpecahnya suatu masalah.
            Ternyata pendidikan di dunia muslim masih digolongkan pendidikan yang terbelakang,  karena apa kebanyakan kaum Muslim hanya mengkaji dan memikirkan teologi semata hanya mengetahui teks-teks Islam tetapi tidak bisa mengkritisi kondisi sosial dan politik sekarang. Dampaknya lahir para intelektual buta dan tidak peka terhadap permasalahan sekitar. Mereka lebih tertarik otentisitas ajaran dari pada problem riil masyarakat. Faktanya jelas sering sekali kaum intelektual kita yang mempunyai kesempatan melanjutkan sekolah diluar negri hanya belajar ilmu pengetahuan teknis yaitu matakuliah yang bebas nilai dan bebas kritik. Selain itu kaum Muslim juga kurang merajai di bidang Iptek kesehatan dan lain-lain, karena sejak kecil hanya pendidikan agamis saja yang diberikan oleh orang tuanya tanpa diperkenalkan ilmu-ilmu yang lain. Islam sangat memerlukan relevensi terhadap empat perspektif dalam studi keIslaman, sehingga bisa melahirkan tradisi kultural, sosial, literal dan politis yang komplek.
V.      Daftar Pustaka

Mubin, Nurul, 2013. The Meaning Of Religion. Wonosobo: Pesantren.
                 
                 
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar