Oleh : Akhmad Luthfi Ali
Kelas : PAI 2C
I.
Pendahuluan
Tragedi
11 September 2001, atau 911 tragedi itu, menjadi momentum yang sangat
menentukan dalam perjalan sejarah islam. Peristiwa tersebut diakui sebagai
peristiwa yang semakin memperuncing hubungan Barat dan Islam yang selama ini
memang saling mencurigai. Peristiwa tersebut memperkuat pandangan Barat atas
dunia islam (terutama AS), bahwa Islam, khususnya kaum radikalnya, terbukti
menjadi bagian dari ancaman serius bagi dunia. Barat yang selama ini menangkap
pesan-pesan damai dan kebaikan yang menjadi inti dari ajaran agama islam,
secara tiba-tiba bereubah dan lenyap dan tergantikan oleh kebencian yang
memuncak terhadap islam. Tidak sedikit yang menolak memperdebatkan persoalan
ini pada ranah kebijakan luar negri pemerintah AS dan kebjakan keamanan
nasional AS, tetapi lebih sebagai peristiwa murni serangan brutal yang juga
harus diselesaikan secara militer dengan cara berperang. Selain itu karna
tragedi tersebut, maka image Barat terhadap Islam semakin negatif bahkan
sudah sampai level mengerikan yakni gejala ketakutan yang dikenal dengan Islamphobia.
M.Abu Robi’ mencoba mengkaji tragedi tersebut dalam perspektif sejarah. Dan makalah ini akan memberikan sedikit pengetahuan
buat kita tentang pandangan islam dimasa kini.
II. Rumusan Masalah
Dengan
segala keterbatasan tim penulis, maka dalam makalah ini tidak akan dijabarkan
satu persatu secara rinci, tapi akan dibahas beberapa sup pokok bahasan seperti
:
a. Pandangn
islam menurut Abu Robi’, dimana akan diuraikan empat poin penting yang perlu
dipertimbangkan.
b. Pendidikan
di dunia muslim, yaitu apakah sudah moderen ataukah masih tradisional.
c. Relevansi
pemikiran M.Abu Robi’ dalam konteks Religion, Sains dan Cultur.
III. Pembahasan
Sering kali kita
dibuat bingung antara Pemikiran Islam dan Islam itu sendiri. Menurut sejarawan
Arab Ibnu Khaldun bahwa Pemikiran Islam merujuk pada seluruh perkembangan ilmu
pengetahuan Muslim seperti al-Qur’an, hadith,fiqh, kalam, dan sufi. Sementara
Islam yang dimaksut adalah pemikiran yang merujuk kepada wahyu yang kekal dan
Islam tetap sebagai agama yang suci. Selain itu Pemikiran Islam tunduk terhadap
perubahan, sedangkan Islam tidak. Menurut Abu Robi’ pemilihan seperti itu
sangat berguna meskipun dalam pembahasan/anilisis ahirnya tidak memuaskan. Oleh
karena itu, dalam membahas Islam, dalam Pandangan Abu Robi’ terdapat emat poin
penting yang perlu dipertimbangkan, yakni:
Pertama; ranah filosofis/
teologis/ idiologi. Islam menjadi problem filsafat, teologi,dan idiologi
dalam memikirkan Arab modern. Sebagian orang membicarakan sosok Islam elit,
yakni islam resmi (official Islam), sedangkan ang lain membicarakan
islam populer (oppositional Islam).kedua posisi pengamatan tersebut
sepakat, islam dapat menjadi kekuatan yang bersifat “passif” maupun
“revolusioner” dalam masyarakat. Bahkan ada yang lebih berani berpendapat,
konsep islam sebagai “wahyu” tidak lagi dapat dipertahankan, dan apa yang di
sebut Islam tidak lain adalah apa yang di buat seseorang, kelompok atau
masyarakat dengan mengatasnamakan Islam.Islam dapat “ digunakan “ sebagai alat
gerak untuk meraih kemajuan atau sebagai alat
pembenar kesenjangan ekonomi atau sosial dalam masyarakat. Dengan kata
lain, menurut pendapat ini, Islam tidak dapat diistimewakan sebagai entitas
yang “suci”. Secara tidak langsung bahwa
Islam tersusupi oleh lebih dari satu oengertian atau definisi.
Kedua; ranah teologis.
Pada dataran teologis, Islam memperoleh makna yang terbuka (open-ended),
sejak percaya kepada Tuhan yang satu sampai ketersambungan teologis dengan
seluruh wahyu yang mendahuluinya, sedang yang lain, dapat dipahami dengan pengertian
yang sederhana sebagai “penyerahan diri sebagai Tuhan yang satu “ Dengan lain
ungkapan, seorang dapat meneliti atau menguji sifat dasar teologi Islam dari
perspektif sejarah agama-agama khususnya dari Kristen dan Yahudi. Atau orang
dapat melihat islam dari sudut pandang teologi inklusif, yakni keesaan Tuhan.
Ketiga; ranah teks (nash). Teks
(nash) adalah inti pokok kebudayaan Islam. Menurut pendapat umum ahli-ahli
hukum Islam, baik al-Qur’an maupun al-Hadith membentuk dasar-dasar tekstual
Islam, yang memuat dasar-dasar pokok teologi Islam. Oleh karena itu, dapat
dibearkan untuk mengatakan bahwa sejak mula sejarah Islam, sudah ada hubungan
dialektis antara teks dan sejarah manusia dan antara teks dan pemikiran
manusia. Dengan kata lain, sejarah dan pemikiran manusia merupakan hasil
perpaduan yang sangat komplek antara yang bersifat “manusia” (human) dan yang
bersifat “ketuhanan/keilahian” (diven); atau antara tulisan keagamaan
(religious) dan faktor-faktor sosial ekonomi dan politik.
Ke-empat;
Ranah realitas antropologi. Memang benar Islam memiliki sisi normatif.
Namun demikian dalam evolusinya perkembangan sejarahnya, Islam telah mendorong
lahirnya tradisi kultural, sosial, literer, filosofis, dan politis yang komplek
yang sampai sekarang masih membentuk pandangan hidup masyarakat muslm.Islam
telah menjadi isu yang menarik dalam hal-hal yang terkait dengan kekuasaan dan
organisasi sosial dan politik. Banyak berbagai gerakan intelektual dan politik
telah menafsirkan tradisi ini berbeda-beda. Dalam pengertian ini tradisi dapat
berarti sebagai kekuatan yang bersifat pasif maupun revolusioner.
Dalam
pemikiran Abu Robi’ melalui survei
historisnya, selain menyetujui keempat pendekatan tersebut di atas juga
memandang perlunya sosiolohi agama. Agama dalam konteks ini dipandang memiliki kekuatan yang cukup sebagai
mana keempat konteks diatas untuk melakukan perubahn sosial yang lebih nyata.
Disadari
atau tidak, pendidikan agama tidak dimodernisasikan secara memadai.
Pasca-kemerdekaannya, beberapa negara muslim seperti Mesir, Indonesia, dan
Pakistan mencoba memodernisasikan secara memadai. Ada beberapa premis untuk
mendiskusikan pertanyaan modern atau tradisionalkah pendidikan didunia muslim
diatas.
Pertama, para elit militer dan
politik aktif memberi dukungan kepada lembaga-lembaga pendidikan tradisional
hanya untuk mempertahankan status que. Ada simbiosis mutualisme antara
pendidikan dan kekuasan.
Kedua, karena sentral dan
sensitifnya islam, menginterfensi konstruksi modern studi-studi keislaman untuk
menjamin netralitas agama dalam problem-problem sosial politik. Akibatnua,
study Islam terbatas pada lapangn tertutup, yaitu balaghah (teori Arab)
dan nahwu (tata bahasa Arab)
Ketiga, perspektif sosial dan filsafat kritik tidak
ada. Kenyataannya, sebagian besar mahasiswa yang memperoleh biyasiswa dari
pemerintah untuk melanjutkan sekolah diluar negri, khususnya di negara-negara
Teluk, hanya belajar ilmu pengetahuan keras atau atministrasi bisnis, yaitu
matakuliah yang bebas nilai dan bebas kritik. Abu Robi’ yang menetap sekitar 20
tahun di AS tidak menemukan satupun mahasiswa yang mengambil ilmu politik,
filsafat, atau sejarah. Fakta menunjukkan betapa sulitnya beberapa negara Arab
untuk mengejar pertumbuhan tradisi ilmiah.
Keempat,
studi Islam hanya berputar pada kajian syari’ah dan fiqh yang kosong
dari muatan kritik politik dan kosong dari relevansi situasi kekinian.
Kelima, ada pembeda yang
sangat jelas antara teologi dan politik atau antara teologi dan sosial. Teologi
dipahami sebagai ritus, simbul, dan hanya berupa teks-teks sejarah. Hal itu
menimbulkan ketegangan antara pemikiran dan realitas, antara islam dan
realitas. Masyarakat sangat
paham dengan teks-teks Islam tetapi tidak tahu bagaimana menguji teks-teks
secara kritis dalam hubungannya dengan kondisi sosial politik sekitarnya.
Intelektual negri ini hanya mendiskusikan persoalan-persoalan teologi yang
sangat ringan atau mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang sudah mati ratusan
tahun yang lalu.
Dari kelima premis diatas dapat diketahui bahwa pendidikan
sekuler di Negara muslim juga tidak lebih baik dari pendidikan tradisional.
Elit terpelajar sekuler kita adalah orang yang tidak memiliki kemandirian
sikap, tidak mengindahkan moral, dan hanya intelelektual upahan.
Pemikiran Abu Robi’ menunjukan adanya kegelisahan akademik
yang memiliki relevansi dengan studi agama, sains dan budaya. Sebagaimana yang
telah diuraikan diatas dimana ranah filosofis, teologis dan idiologis sudah
saatnya dikedepankan dibandingkan dengan pandangan islam sebagai realitas wahyu
yang tidak ramah dengan realitas sekarang. Abu Robi’ juga memiliki relevansi
saling berinteraksi antara sains dengan agama sebagaimana dalam ranah ketuhanan
(divene) dan ranah kemanusiaan (humanity) dan antara persoalan keagaman
(religious) dengan persoalan ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia. Dapat
dikatakan hal ini menunjukkan adanya relevansi antara agama dengan ilmu yang
lain, yang saling menopang satu dengan yang lain. Sehingga mendorong lahirnya
tradisi, literal, filosofis dan politis yang komplek.
IV. Kesimpulan
Islam
yang baik dan yang benar itu tidak hanya mementingkan aspek filosofis teologis/
idiologisya saja, tidak hanya mengutamakan aspek teologinya saja, tidak hanya
berpathok di ranah teks saja, dan tidak hanya mementingkan realitas
antropologi. Tetapi keempan unsur tersebut harus di jadikan satu kesatuan
komponen, dan sudah saatnya dikedepankan, karena untuk menjawab masalah atau
problematik di era sekarang tidak bisa di selesaikan hanya dengan satu ilmu
tetapi harus di selesaikan dengan dilihat terlebi dahulu persoalan dengan
secara menggelobal selain itu kesaling terhubungan antara disiplin
keilmuan yang satu dengan ilmu yang lain
sangt berpengaruh demi terpecahnya suatu masalah.
Ternyata pendidikan di dunia muslim
masih digolongkan pendidikan yang terbelakang,
karena apa kebanyakan kaum Muslim hanya mengkaji dan memikirkan teologi
semata hanya mengetahui teks-teks Islam tetapi tidak bisa mengkritisi kondisi
sosial dan politik sekarang. Dampaknya
lahir para intelektual buta dan tidak peka terhadap permasalahan sekitar. Mereka
lebih tertarik otentisitas ajaran dari pada problem riil masyarakat. Faktanya jelas
sering sekali kaum intelektual kita yang mempunyai kesempatan melanjutkan
sekolah diluar negri hanya belajar ilmu pengetahuan teknis yaitu matakuliah
yang bebas nilai dan bebas kritik. Selain itu kaum Muslim juga kurang merajai
di bidang Iptek kesehatan dan lain-lain, karena sejak kecil hanya pendidikan
agamis saja yang diberikan oleh orang tuanya tanpa diperkenalkan ilmu-ilmu yang
lain. Islam sangat memerlukan relevensi terhadap empat perspektif dalam studi
keIslaman, sehingga bisa melahirkan tradisi kultural, sosial, literal dan
politis yang komplek.
V. Daftar Pustaka
Mubin, Nurul, 2013. The Meaning Of Religion. Wonosobo: Pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar