KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, kami panjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga pada
kesempatan ini kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul “Hukum
Menikahi Wanita Hamil”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti
Pembelajaran Mata Kuliah FIQIH Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Tahun Akademik 2012/2013.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat
kekurangan .Untuk itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan
kami terima demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
1.1 LATAR
BELAKANG
Kehamilan dapat terjadi melalui perkawinan yang legal, maupun melalui
hubungan akibat perkosaan, atau hubungan suka-sama suka diluar nikah yang
disebut dengan perzinahan/ prostitusi. Apalagi pergaulan bebas antara muda mudi
, seperti yang terjadi saat ini, seringkali membawa hal-hal yang tidak
dikehendaki, yakni terjadinya kehamilan sebelum sempat dilakukan pernikahan.
Dengan demikian hamil sebelum diadakan akad nikah telah menjadi problema yang
membutuhkan pemecahan,sehingga terjadi kegelisahan dikalangan masyarakat maupun
para ulama , yang ditangan merekalah terletak tanggung jawab yang sangat besar,
terlebih lagi menyangkut masalah hukum islam/syari’at. Kebiasaan Orang tua yang
merasa malu karena putrinya hamil diluar nikah , mereka biasanya berusaha
menikahkan putrinya dengan laki-laki yang menghamilinya maupun yang bukan
menghamilinya.Sekarang ini menikahi wanita hamil karena zina bukanlah masalah
baru karena pada zaman rasulullah juga pernah terjadi. Padahal islam
menganjurkan nikah dan melarang zina,karena zina adalah sumber kehancuran.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
hukum menikahi wanita hamil karena cerai atau ditinggal suami?
2. Bagaimana
hukum menikahi wanita hamil karena zina?
3. Bagaimana
hukumnya wanita hamil karena zina menikah dengan orang yang tidak menghamilinya?
4. Bagaimana status anak yang akan dilahirkan?
BAB I PEMBAHASAN
2.1 Hukum menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal.
Dalam surat Al-Baqarah
ayat 234 dijelaskan bahwa,
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Laki-laki yang menikah
dengan seorang wanita yang sedang hamil, hukumnya yaitu sesuai dengan firman
Allah dalam surat At-Thalaq ayat 4 yaitu
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada
Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” .
Dengan demikian, perempuan yang hamil tidak boleh menikah
sebelum janin yang dikandungnya lahir. Alasan keharaman nikah hamil itu demi
menghormati sperma suaminya yang suci karena telah menikah[1].
Pada ayat lain Allah SWT
menjelaskan,
“Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru( suci) Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah
(perbaikan).
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (Al-Baqarah).
Ayat diatas menurut Ibn
Mas’ud, turun setelah ayat tentang idah (masa tunggu) karena kematian suaminya
(Qs. Al-Baqarah:234). Disisi lain, ibn Abbas dan Ali ibn Abi Thalib memandang
ayat (Qs. Al-Thalaq:4 tidak terkait dengan idah kematian. Dengan demikian, masa
idah bagi wanita yang hamil diambil waktu yang lebih lama. Diantara tujuan idah
adalah untuk mengetahui keadaan rahim sebelum menikah[2].
Atas dasar ini, al-Razi
berpendapat bahwa idah hamil itu sampai kelahiran bayi yang dikandung. Idah ini
berlaku dalam segala keadaan (fi jami’ al-ahwat). Artinya, idah hamil
tidak hanya berlaku bagi wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya, akan
tetapi perempuan hamil akibat perzinaan juga harus menjalani idah. Hanya saja
para ulama masih berbeda pendapat dalam hal perlu atau tidaknya idah bagi
pezina yang hamil.
Dan hukum
menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya
batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah
kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.”
(QS. Al-Baqarah: 235)
2.2 Hukum Menikahi Wanita Hamil karena zina.
Para ulama berbeda berpendapat mengenai hukum menikahi wanita yang hamil
diluar nikah, apakah mereka dikenakan had(hukuman) atau tidak, sebagian ulama
berpendapat dikenakan had dan sebagian lagi tidak.[3] Selain
itu diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil karena zina ada masa
iddahnya,dan juga ada yang berpendapat tidak.
Menurut pendapat para ulama tentang masalah
ini yaitu,
1.
Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Imam Hambali, membolehkan kawin dengan perempuan yang
sedang hamil karena zina,asalkan yang menikahinya adalah laki-laki yang
menghamilinya,sebab hamil yang semacam ini tidak menyebabkan haramnya dinikahi.
2.
Abu Yusuf dan Riwayat Imam Abu Hanifah,bahwa tidak boleh menikahi wanita yang hamil
karena zina, sebelum ia melahirkan, agar nutfah(darah) suami tidak bercampur
dengan tanaman orang lain.
3.
Riwayat lain Abu Hanifah, bahwa perkawinan dengan perempuan berzina yang hamil,
sah, tetapi tidak boleh melakukan coitus/ hubungan badan sebelum anaknya
lahir.[4]
4.
Imam Muhammad As-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita yang dihamili laki-laki
lain hukumnya sah,tetapi haram baginya melakukan hubungan badan hingga bayi yang dikandungnya lahir.
5.
Ibn Qudamah, pendapatnya sejalan degan
imam muhammad As-Syabani, namun beliau menambahkan bahwa,wanita itu harus terlebih dahulu dipidana dengan pidana
cambuk.
6.
Prof.Abdul Halim Mahmud, bahwa akad nikah perempuan yang hamil diluar nikah sah.
Apabila rukun syaratnya pernikahan terpenuhi,seperti wali saksi,dan
mahar.adapun status hukum hubungan sebelum akad adalah hubungan zina,berdosa
dan pelanggaran hukum. Bagi laki-laki dan perempuan yang melakukannya, hukuman
dan sanksinya disesuaikan dengan pelaku
perzinahan.[5]
2.2 Hukum Wanita Hamil yang Menikah dengan Orang Yang Tidak Menghamilinya.
Berdasarkan sebab turunnya surat An Nur ayat
3,dapat diketahui bahwa Allah mengharamkan seorang laki-laki yang bukan
menghamilinya menikahi wanita yang hamil karena zina. Hal ini bertujuan untuk
menjaga kehormatan laki-laki yang beriman.[6]
Ketentuan ini
diatur juga oleh undang-undang perkawinan maupun KHI pasal 3 yang berbunyi,
1. Seorang wanita hamil diluar nikah,dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan
pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat
wanita hamil,tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya
lahir.
Dari ketentuan pasal 53 diatas, KHI secara
tegas mengatur bahwa perkawinan hamil dapat dilakukan asalkan yang menikahinya
adalah laki-laki yang menghamilinya. Ketentuan ini juga sejalan dengan
ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran surat
An-Nur ayat 3 yang artinya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. Persyaratan ini dipertegas lagi oleh
surat Al-Baqarah ayat 221 yang artinya ”Bahwa selain laki-laki yang menghamili
perempuan yang hamil diharamkan oleh Allah untuk menikahinya”. Perkawinan
semacam ini juga tidak perlu menunggu habis masa iddah wanita hamil tersebut,dan tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
Menurut
pendapat para ulama tentang masalah ini yaitu,
1. Abu hanifah dan
imam syafi’i berpendapat bahwa, menikahi wanita hamil yang dinikahi laki-laki lain
hukumnya sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain, dan boleh
mengumpulinya karena janin yang telah ditanam tidak akan ternoda oleh benih
yang ditanam.
2. Imam Abu Yusuf, bahwa perkawinannya fasid(batal). Hal ini
didasarkan kepada ayat 3 surat An –Nur.
3. Imam Muhammad
as-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita
hamil sah,tetapi haram melakukan hubungan badan ,sampai anak yang dikandungnya
lahir. Pemikirannya ini menghendaki pemisahan perkawinan hamil dengan anak yang
dikandung agar tidak terjadi ikhtilath nasab/percampuran keturunan.
4. Malik dan Ahmad,tidak sah menikah dan tidak boleh
bergaul,dimana wanita hamil karena zina wajib iddah dan tidak sah aqad
nikahnya,karena tidak halal menikahi wanita hamil sebelum melahirkan.[7]
5. Abu yusuf dan
Zafar, karena wanita
itu hamil dari hubungan dengan lelaki
lain,maka haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil lainnya,
karena hamil itu mencegah bersetubuh,maka juga mencegah akad nikah,sebagaimana
hamil yang ada nasabnya.Oleh karena tujuan nikah itu menghalalkan hubungan
badan dan apabila tidak berhubungan badan maka pernikahan itu tidak ada
artinya.
Mereka mendasarkan pendapatnya kepada sabda Nabi Muhammad S.A.W
“barang siapa yang beriman kepda Allah dan Hari Akhir maka janganlah menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (
H.R.Abu Dawud)
dan dasar berikut ini, “perempuan hamil dilarang dinikahi sampai ia melahirkan.”
(H.R.Abu Dawud).
6. Drs.Cut
Anwar,MA, mengatakan
bahwa tidak sah menikah karena larangan-larangan yang dikemukakan ayat Al-Quran
yang secara tegas melarangnya, dilihat dari sudut biologis dengan menikahi
wanita yang tidak halal digauli(untuk sementara) menjadi kesulitan bagi
laki-laki,karena sulit bagi seorang laki-laki membebndung syahwatapalagi mereka
tinggal serumah.Ia juga khwatir apabila si laki-laki tergelincir melakukan
larangan itu. Maka menurutnya lebih baik tidak menikah dari pada menikah tapi
tidak boleh berkumpul.
Sedangkan pernikahan dengan orang yang
menghamilinya menurut para ulama hukumnya sah, mereka boleh berhubungan
layaknya suami istri. Dan ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur
ayat 3, karena status mereka sebagai pezina. Tetapi seorang yang menghamili
wanita kemudian melaksanakan akaq nikah, masalahnya tidak selesai,karena mereka
telah berdosa dan melanggar hukum Tuhan,maka mereka wajib bertaubat yaitu
taubat nasuha.Menikahkan wanita pezina dengan laki-laki yang menzinahinya
adalah sah,apabila syarat dan rukunnya terpenuhi seperti wali,saksi,dan mahar.
Adapun status hukum hubungan sebelum akad adalah hubungan zina ,dosa dan
pelanggaran hukum,laki-laki dan perempuan yang melakukannya adalah pelaku
pelanggaran hukum dan sanksinya adalah sanksi yang biasa yang dikenakan kepada
pelaku perzinahan.
2.3 Status Anak Yang Dilahirkan
Pada dasarnya nasab anak zina dihubungkan pada ibunya.[8] Sesuai
dengan hadits Nabi “ Al- Walidu Lil Firsasyi( seorang anak adalah milik
ibunya).” Maka anak itu tidak di nasabkan kepada si ayah,walaupun si ayah
mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya.
M.
Yahya Harahahap mengatakan bahwa dilegalkannya perkawinan hamil antara lain
adalah untuk memberikan kepastian pada kedudukan anak yanag akan dilahirkan,
sehingga silsilah keturunan anak tersebut dapat dinisbatkan ,kepada ibu dan
laki-laki yang menghamilinya. Pemikiran M. Yahya ini juga telah terumuskan
didalam pasal 99 KHI, yang menyatakan anak yang sah adalah,
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah
KHI membuka kemungkinan bagi tertampungnya anak yang lahir akibat
perkawinan hamil ke dalam pengertian anak sah,sekalipun anak itu dilahirkan
beberapa hari setelah perkawinan dilaksanakan.
b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar
rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Dr. Wahab al Rakhly,mengupas hal ini dengan menetapkan batasan
waktu kelahiran seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang lain yang
lebih mengetahui tentang kehamilannya adalah si wanita itu sendiri. Menurutnya
bila bayi itu lahir setelah 6 bulan dihitung sejak akad maka bayi itu di nisbahkan kepada suami dan kurang
dari 6 bulan dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila si suami mengatakan bahwa
anak itu adalak anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak itu dari hubungan zina. Pengakuan ini menurutnya ,
menetapkan nasab kepada suami berdasarkan aqad nikah yang lalu, karena orang
islam harus berbuat baik dan menutup aib.[9]
Prof. Abdul Halim Mahmud, memang hukum positif mengakui anak hasil
zina tersebut sebagai anak yang sah dan memiliki hak-hak hukum sebagaimana yang
dimilki anak yang lahir dari pernikahan yang sah, lain halnya menurut syariat
islam.Islam sangat menjaga kesucian kehormatan,dan kehidupan yang berbudi.
Sebab, mengakui anak hasil hubungan
diluar nikah sama dengan mengakui perzinahan dan buahnya. Dengan demikian ,
islam menolak anak hasil hubungan di luar nikah. Dan anak hasil zina tidak memiliki hak waris dari
laki-laki yang menzinahi ibunya.
Menurut pendapat para ulama yaitu,
·
Jika laki-laki yang menikahinya bukan yang menghamilinya.
Para ulama sepakat bahwa status anak tersebut
adalah anak zina,dan nasabnya diberikan kepada ibunya,dan tidak ada nasab
dengan laki-laki yang menikahi ibunya dan sesudah ibunya melahirkan sebaiknya
dinikahkan ulang dengan laki-laki yang mengawininya ketika ia hamil.
·
Jika laki-laki yang menikahinya adalah orang yang
menghamilinya, maka para ulama berpendapat bahwa,
1.
Jika pernikahan dilakukan setelah janin itu berumur 4
bulan ,maka status anak itu adalah anak zina, nasabnya hanya dihubungkan kepada
ibu yang melahirkan. Tetapi jika pernikahan itu dilakukan sebelum janin berumur
4 bulan ,maka anak itu dianggap anak sah dari suami istri tersebut.
2.
Walaupun janin yang ada dalam kandungan wanita itu
berumur beberapa hari kemudian wanita itu dinikahkan dengan laki-laki yang
menghamilinya , maka anak yang dilahirkan tetap dipandang sebagai anak
zina,tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang menghamili tadi,hal ini
karena keberadaan janin itu dalam kandungan lebih dahulu dari pada pernikahan
dilaksanakan.[10]
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami
meninggal yaitu harus menunggu sampai lepas masa iddah selesai. Masa iddahnya
itu sendiri yaitu sampai anak dalam kandungannya lahir.
Hukum menikahi wanita hamil sebab zina yaitu terjadi
perbedaan pendapat diantara para ulama, yaitu ada yang mengatakan boleh dan ada
pula yang mengatakan tidak boleh. Namun pada surat An-Nur ayat 3 sudah
dijelaskan bahwa wanita pezina harus menikah dgn laki-laki pezina dan hukum nya
haram jika seorang mukmin menikahi laki-laki pezina tersebut.
Pada dasarnya
nasab anak zina hanya dihubungkan dengan ibunya.Sesuai dengan hadits
Nabi”al-walidu lil-firsasyi” yaitu seorang anak hanya milik ibunya. Namun terjadi
beberapa perbedan pendapat untuk masalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Qardhawi,Yusuf,Prof.Dr,dkk,2009,Ensiklopedi Muslimah
Modern,Depok: Pustaka Iman.
Drs.H.M.Anshary MK,S.H,M.H,2010,Hukum Perkawinan Di Indonesia,Pusataka
Pelajar
Zainuddin,Ali,M.A.Prof.Dr.H,2006,Hukum Perdata Islam
Di Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika.
Drs. Cut Aswar,MA. 1994. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus
Oleh Ibnu Umar, Joko Septiono dan Siti Muslikhatun
Oleh Ibnu Umar, Joko Septiono dan Siti Muslikhatun
[3] Drs.
Cut Aswar,MA. 1994. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta:
Pustaka Firdaus, Halaman 52.
[4] Drs. H.M. Anshary
MK,S.H,M.H. 2010. Hukum perkawinan di indonesia: masalah-masalah
krusial. Jakarta: Pustaka Pelajar,
Halaman 58.
[7] Drs. Cut Aswar,MA. 1994. Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta: Pustaka Firdaus, Halaman 54.
[10] Drs.
H.M. Anshary MK,S.H,M.H. 2010. Hukum perkawinan di indonesia: masalah-masalah
krusial. Jakarta: Pustaka Pelajar,
Halaman 42.