Pages

16 Agustus 2013

Teologi





            Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan,memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentangn kedua soal tersebut. Akal,sebagai daya berfikir yang ada pada diri manusia,berusaha keras untuk sampai pada diri Tuhan,dan wahyu sebagai penghkabarnya dari alam metafisikaturun pada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
            Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan,dan ketika akad dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman. Jadi,akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah,juga bisa bermakna memahami dan betadabbursehingga memperoleh pengetahaun. Pengertian akal ada dua;akal praktis,yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui inderapengingat yang adadalam jiwa binatang; akal teoritis,yang menangkap arti-arti murni,yang tidak pernah ada dalam materi seperti Tuhan,Rob,dan Maikat.
            Bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu dihubungkan dengan dua masalah pokok yang msing-masing bercabang dua. Pertamaialah soal mengetahui Tuhan dan masalaahkedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah arab disebut husul ma’rifah Allah. Kedua ialah mengetahui baik dan jahat,dan kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah al-husn wa al-qubh dan wujub i’tinaq al –hasan wa ijtinab al-qabih.
            Bagi kaum mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal,dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih terhadap Tuhan sebelum turunya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah pula wajib.
            Abu al-Hujaildengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu,orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan,dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan,orang demikian akn mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya,juga dapat diketaui dengan perantaraan akal dan dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik,umpamanya bersikap lurus dan adil,dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan bersikap zalim.
            Diantara pemimpin-pemimpin Mu’tazilah,antara lain al-Nazzam,al-Jubba’i dan anaknya Abu Hasyim,dan golongan al-Murdar juga berpendapat demikian bahwa dalam kewajiban mengetahui Tuhan,termasuk kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan,sungguhpun wahyu belum ada,dan orang yang tidak mengetahui hal itu dan tidak berterima kasih kepada Tuhan,akan mendapat hukuman kekal dalam neraka.
            Menurut al-Syahrastani kaum Mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewijiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jawaban Mu’tazilah pernyataan keempat masalah pokok itu dapat diketahui oleh akal.
            Dari aliran Asy’ariah,al-Asy’ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui oleh wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan,tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.
            Menurut as-Asyahrastani Ahli Sunnah yaitu kaum Asy’ariah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu  dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi jahat adalah wajib,karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya tidak pula mewujudkan pengetahuan. Wahyu membawa kewajiban-kewajiban.
            Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan,tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh kaerna itu,sebelum turunnya wahyu,tidak ada kewajiban-kewajiban dan tak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang,sebelum wahyu turun,sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-Nya dan kemudian percaya kepada-Nya,maka orang demikian adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat upah dari Tuhan. Jika orang demikian dimasukkan kedalam surga,maka itu adalah kemurahan hati Tuhan. Dan sebaliknya jika seseorang sebelim adanya wahyu,tidak percaya adanya Tuhan,ia adalah kafir dan atheis tetapi tidak mesti mendapat hukuman. Kalua sekiranya Tuhan memasukkannya kedalam neraka untuk selama-lamanya itu tidak merupakan hukuman.
            Al-Ghazali,seperti al-Asy’ari dan al-Baghdadi,juga berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia;kewajiban-kewajiban iti di tentukan oleh wahyu.
            Adapun soal mengetahui Tuhan,maka uraian al-Ghazali bahwa wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran tentang alam yang bersifat dijadikan,mengandung arti bahwa soal itu dapat diketahui melalui akal. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Ghazali selanjutnya bahwa objek pengetahuan dibagi tiga;yang dapat diketahui oleh akal saja,yang dapat diketahui oleh wahyu saja,dan yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud Tuhan dimasukkan al-Ghazali dalam kategori pertama yaitu kategori yang dapat diketahui dengan akal tanpa wahyu.
            Akal,kata al-Maturidi,mengetahui bahwa sikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak adil dan tak lurus adalah buruk. Akal selanjutnya akan memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatanyang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa pada kerendahan. Perintah dan larangan demikian,menjadi wajib dengan kemestian akal (Fayajib al-amr wa al-nahy bidarurah al-‘aql).
            Golongan Bukhara,dalam pahamnya akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban;akal hanya mampu untuk mengertahui sebabnya kewajiban. Sebagai kata Abu ‘Uzbah,akal adalah alat untuk mengatahui kewajiban dan yang menentukan kewajiban (al-mujib) ialah Tuhan. Pendapat golangan Bukhara,kata Abu ‘Uzbah,berpendapat bahwa sebelum adanya Rasul-rasul,percaya kepada Tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah merupakan dosa. Pendapat seperti ini juga terdapat dalam uraian al-Bazdawi. Dalam memberi komentar terdapat QS.At Taha (2)134:’’Jika sebelumnys kami hancurkan dengan siksaan mereka akan berkata: Ya Tuhan,apa sebabnya Engkau tidak kirimkan seorang Rasul kepada kami,sehingga kami dapat mengikuti petunjuk-petujukMu sebelum kami jatuh kedalam keadaan rendah lagi hina?’’.
            Kewajiban bersyukur atas nikmat Allah juga berdasarkan wahyu,bukan akal. Akal juga tidak mampu menentukan pahala dan siksa. Argumen yang dikemukakan al-Asy’ari untuk memperkuat pendapat tersebut adalah ayat :’’Kami tidak akan mengazab sebelum Kamu mengutus seorang Rasul.’’(QS:Bani isra’il:15). Al-asy’ari mengatakan bahwa kewajiban beriman bagi seseorang baru datang manakala telah sempurna akalnya (aqil baligh).

KEKUATAN AKAL
1.Sistem Teologi Muhammad Abduh
            Jalan untuk memperoleh pengetahuan ada dua,akal dan wahyu. Wahyu diartikan “pengetahuan” yang diperpleh seseorang dalam dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa itu berasal dari Allah,baik dengan perantara maupun tidak.
2.Pentingnya Akal
Akal adalah suatu daya hanya dimiliki manusia,dan oleh karena iti dialah yang memperbedakan manusia dari makhluk lain. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Umat manusia,dalam pendapatnya,adalah sebagai anak,yang pada mulanya,kecil dan kemudian besar menjadi dewasa. Umat manusia pada masa dewasanya dan islampun datang berbicara kepada akal dan bukan lagi hanya kepada perasaannya.
Umat manusia ketika islam datang,demikian Muhammad Abduh,telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Tidak mengherankan kalau ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara kepada akal manusiadan bukan hanya pada perasaannya. Akal,demikian ia menegaskan,dimuliakan Allah dengan menunjukkan perintah dan larangan-Nya kepadanya. Nabi juga berbicara kepada akal dan membuat akal menjadi hakim antara apa yang benar dan apa yang salah. Di dalam islamlah”agama berteriak kepada akal,sehingga ia tersentak dari tidurnya yang panjang”. Betul akal harus percaya kepada semua apa yang dibawa wahyu,dan mungkin ada diantaranya tidak bisa diketahui hakikatnya,tetapi begitupun akal tidak wajib menerima apa yang mustahil. Jika wahyu membawa sesuatu yang pada lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal. Wajib bagi akal untuk menyakini bahwa apa yang dimaksud bukanlah arti harfiyah;akal kemudian mempunyai kebebasan memberi intrepretasi kepada wahyu atau menyerahkan maksud sebenarnya dari wahyu bersangkutan kepada Allah.
3.Perbedaan Manusia dari Segi Akal
            Karena pentingnya kedudukan akal dalam pendapat Muhammad Abduh,perbedaan antara manusia baginya bukan lagi ditekankan pada ketinggian taqwa,tetapi pada kekuatan akal. Tauhid,dalam penjelasannya,membuat manusia hamba hanya bagi Allah dan bebas dari perbudakan lain dalam bentuk apa saja;manusia semuanya sama,tidak ada perbedaan antara meraka kecuali dalam amal,dan tidak ada yang lebih mulia,kecuali karena ketinggian akal dan pengetahuan,dan yang mendekatkan manusia kepada Tuhan hanyalah kesucian akal dari keraguan.
4.Kekuatan Akal dalam Sistem Teologinya
a.       Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
b.      Mengetahui adanya hidup diakhirat;
c.       Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa diakhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik,sedang kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat;
d.      Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan;
e.       Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat;
f.       Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.


            Kekuatan akal dalam mengetahui kedua dasar agama,Tuhan dan kebaikan serta kejahatan tersebut diatas,sebenarnya telah dilakukan oleh aliran-aliran teologi yang timbul dizaman keemasan islam. Kedua masalah pokok itu dipecah menjadi empat,yaitu:
1.      Mengetahui Tuhan
2.      Mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan
3.      Mengetahui kebaikan dan kejahatan
4.      Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat.

Kaum Mu’tazilah dan Muhammad Abduh mempunyai persamaan pendapat bahwa dalam keempat masalah pokok itu,wahyu tak mempunyai fungsi.

DASAR KEYAKINAN DAN PENDAPAT AKAL

Fanatik percaya dan fanatik tidak percaya.
Banyak diantara manusia yang telah tergila-gila,fanatik percaya,sebelum mempergunakan akalatau fikirannya;dan ada juga yang tergila-gila atau fanatik tidak percaya,sebelum mengetahui dan memikirkan alasan-alasan dan dalil-dalil atau bukti-buktinya.
            Kedua-duanya itu tercela khususnya dalam soal kepercayaan,karena yang sedemikian itu akan mematikan otak,dan tidak membawa manusia kearah kemajuan dan kesempurnaan.
            Orang yang gila yang tak percaya,meskipun ada bukti yang terang- padahal kalau ia memikirkannya,mesti akan masuk diakalnya- tetap juga ia tidak mau percaya. Bahkan bukti-bukti itu,masih diselidiki lagi,dengan maksud mencari apa yang tersembunyi dibalik bukti yang sudah terang itu.
            Agama islam,amat mencela kedua-duanya:
            Dalam Al-Qur’an Surat Ad-Dzariyat:20-21 disebutkan sebagai berikut:”Dan dibumi dan (juga) pada dirimu sendiri itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang yakin. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?”
            HUKUM AKAL (‘AQLI)
            Apabila kita menemuka sesuatu keterangan,maka akal kita tentu akan menerima yang salah satu pendapat atau keputusan  hukum sebagai berikut:
a.       Membenarkan dan mempercayainya
b.      Mengingkari dan tidak mempercayainya
c.       Memungkinkan,artinya boleh jadi dan tidak boleh jadi.
Putusan akal atau hukum akal:
a.       Yang pertama itu disebut wajib (wajib ‘aqly)
b.      Yang kedua disebut muhal atau mustahil
c.       Yang ketiga disebut jaiz atau mungkin (mungkin jadi dan mungkin tidak)


REFRENSI:
1.      KH.I.Zarkasyi;usuluddin (‘Aqa’id) ‘ala mazdhab as-sunnah wal-jamaah. (Gontor:Trimurti,1989)
2.      Harun Nasution;Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta; Universitas Indonesia (UI-Press),1987)
3.      Ilhamuddin;Pemikiran kalam al-Baqillani,studi tentang persamaan dan perbedaanya dengan Al-Asy’ari (Yogyakarta;Tiara Wacana Yogya,1997)
4.      Harun Nasution;Teologi islam,aliran sejarah analisis perbandingan, (Jakarta;Universitas Indonesia (UIP) UI-Press,2008)
5.      Harun Nasution;Kedudukan akal dalam pemikiran teologi rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar