Teologi sebagai ilmu yang membahas soal
ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan,memakai akal dan wahyu
dalam memperoleh pengetahuan tentangn kedua soal tersebut. Akal,sebagai daya
berfikir yang ada pada diri manusia,berusaha keras untuk sampai pada diri
Tuhan,dan wahyu sebagai penghkabarnya dari alam metafisikaturun pada manusia
dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan.
Akal dalam bahasa arab bermakna
mencegah dan menahan,dan ketika akad dihubungkan dengan manusia maka bermakna
orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan
dengan makna pemahaman. Jadi,akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan
hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah,juga bisa bermakna
memahami dan betadabbursehingga memperoleh pengetahaun. Pengertian akal ada
dua;akal praktis,yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui inderapengingat
yang adadalam jiwa binatang; akal teoritis,yang menangkap arti-arti murni,yang
tidak pernah ada dalam materi seperti Tuhan,Rob,dan Maikat.
Bahwa persoalan kekuasaan akal dan
fungsi wahyu dihubungkan dengan dua masalah pokok yang msing-masing bercabang
dua. Pertamaialah soal mengetahui Tuhan dan masalaahkedua soal baik dan jahat.
Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui
Tuhan yang dalam istilah arab disebut husul ma’rifah Allah. Kedua ialah
mengetahui baik dan jahat,dan kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan
kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah al-husn wa al-qubh dan wujub
i’tinaq al –hasan wa ijtinab al-qabih.
Bagi kaum mu’tazilah segala
pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal,dan kewajiban-kewajiban
dapat diketahui pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih
terhadap Tuhan sebelum turunya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib
diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang jahat adalah pula wajib.
Abu al-Hujaildengan tegas mengatakan
bahwa sebelum turunnya wahyu,orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan,dan jika
ia tidak berterima kasih kepada Tuhan,orang demikian akn mendapat hukuman. Baik
dan jahat menurut pendapatnya,juga dapat diketaui dengan perantaraan akal dan
dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik,umpamanya bersikap lurus dan
adil,dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan bersikap zalim.
Diantara pemimpin-pemimpin
Mu’tazilah,antara lain al-Nazzam,al-Jubba’i dan anaknya Abu Hasyim,dan golongan
al-Murdar juga berpendapat demikian bahwa dalam kewajiban mengetahui
Tuhan,termasuk kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat
Tuhan,sungguhpun wahyu belum ada,dan orang yang tidak mengetahui hal itu dan tidak
berterima kasih kepada Tuhan,akan mendapat hukuman kekal dalam neraka.
Menurut al-Syahrastani kaum
Mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewijiban mengetahui dan berterima kasih
kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat
diketahui oleh akal.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa jawaban Mu’tazilah pernyataan keempat masalah pokok itu dapat diketahui
oleh akal.
Dari aliran Asy’ariah,al-Asy’ari
sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah. Dalam pendapatnya
segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui oleh wahyu. Akal tak dapat
membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat
mengetahui Tuhan,tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan
berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang
patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan
mendapat hukuman.
Menurut as-Asyahrastani Ahli Sunnah
yaitu kaum Asy’ariah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan
wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan
akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi
jahat adalah wajib,karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib.
Wahyu sebaliknya tidak pula mewujudkan pengetahuan. Wahyu membawa
kewajiban-kewajiban.
Menurut al-Baghdadi akal dapat
mengetahui Tuhan,tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh kaerna
itu,sebelum turunnya wahyu,tidak ada kewajiban-kewajiban dan tak ada
larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang,sebelum wahyu turun,sekiranya
dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-Nya dan kemudian percaya
kepada-Nya,maka orang demikian adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat
upah dari Tuhan. Jika orang demikian dimasukkan kedalam surga,maka itu adalah
kemurahan hati Tuhan. Dan sebaliknya jika seseorang sebelim adanya wahyu,tidak
percaya adanya Tuhan,ia adalah kafir dan atheis tetapi tidak mesti mendapat
hukuman. Kalua sekiranya Tuhan memasukkannya kedalam neraka untuk
selama-lamanya itu tidak merupakan hukuman.
Al-Ghazali,seperti al-Asy’ari dan
al-Baghdadi,juga berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban
bagi manusia;kewajiban-kewajiban iti di tentukan oleh wahyu.
Adapun soal mengetahui Tuhan,maka
uraian al-Ghazali bahwa wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran tentang
alam yang bersifat dijadikan,mengandung arti bahwa soal itu dapat diketahui
melalui akal. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Ghazali selanjutnya bahwa
objek pengetahuan dibagi tiga;yang dapat diketahui oleh akal saja,yang dapat
diketahui oleh wahyu saja,dan yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud
Tuhan dimasukkan al-Ghazali dalam kategori pertama yaitu kategori yang dapat
diketahui dengan akal tanpa wahyu.
Akal,kata al-Maturidi,mengetahui
bahwa sikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak adil dan tak
lurus adalah buruk. Akal selanjutnya akan memerintah manusia mengerjakan
perbuatan-perbuatanyang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang membawa pada kerendahan. Perintah dan larangan
demikian,menjadi wajib dengan kemestian akal (Fayajib al-amr wa al-nahy
bidarurah al-‘aql).
Golongan Bukhara,dalam pahamnya akal
tidak mampu untuk menentukan kewajiban;akal hanya mampu untuk mengertahui
sebabnya kewajiban. Sebagai kata Abu ‘Uzbah,akal adalah alat untuk mengatahui
kewajiban dan yang menentukan kewajiban (al-mujib) ialah Tuhan. Pendapat
golangan Bukhara,kata Abu ‘Uzbah,berpendapat bahwa sebelum adanya Rasul-rasul,percaya
kepada Tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah
merupakan dosa. Pendapat seperti ini juga terdapat dalam uraian al-Bazdawi.
Dalam memberi komentar terdapat QS.At Taha (2)134:’’Jika sebelumnys kami
hancurkan dengan siksaan mereka akan berkata: Ya Tuhan,apa sebabnya Engkau
tidak kirimkan seorang Rasul kepada kami,sehingga kami dapat mengikuti
petunjuk-petujukMu sebelum kami jatuh kedalam keadaan rendah lagi hina?’’.
Kewajiban bersyukur atas nikmat
Allah juga berdasarkan wahyu,bukan akal. Akal juga tidak mampu menentukan
pahala dan siksa. Argumen yang dikemukakan al-Asy’ari untuk memperkuat pendapat
tersebut adalah ayat :’’Kami tidak akan mengazab sebelum Kamu mengutus seorang
Rasul.’’(QS:Bani isra’il:15). Al-asy’ari mengatakan bahwa kewajiban beriman
bagi seseorang baru datang manakala telah sempurna akalnya (aqil baligh).
KEKUATAN
AKAL
1.Sistem
Teologi Muhammad Abduh
Jalan untuk memperoleh pengetahuan
ada dua,akal dan wahyu. Wahyu diartikan “pengetahuan” yang diperpleh seseorang
dalam dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa itu berasal dari Allah,baik dengan
perantara maupun tidak.
2.Pentingnya
Akal
Akal adalah suatu daya hanya dimiliki manusia,dan oleh karena iti
dialah yang memperbedakan manusia dari makhluk lain. Peningkatan daya akal
merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan
sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Umat manusia,dalam pendapatnya,adalah sebagai anak,yang pada
mulanya,kecil dan kemudian besar menjadi dewasa. Umat manusia pada masa
dewasanya dan islampun datang berbicara kepada akal dan bukan lagi hanya kepada
perasaannya.
Umat manusia ketika islam datang,demikian Muhammad Abduh,telah
mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Tidak mengherankan kalau
ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara kepada akal manusiadan bukan
hanya pada perasaannya. Akal,demikian ia menegaskan,dimuliakan Allah dengan
menunjukkan perintah dan larangan-Nya kepadanya. Nabi juga berbicara kepada
akal dan membuat akal menjadi hakim antara apa yang benar dan apa yang salah.
Di dalam islamlah”agama berteriak kepada akal,sehingga ia tersentak dari
tidurnya yang panjang”. Betul akal harus percaya kepada semua apa yang dibawa
wahyu,dan mungkin ada diantaranya tidak bisa diketahui hakikatnya,tetapi
begitupun akal tidak wajib menerima apa yang mustahil. Jika wahyu membawa
sesuatu yang pada lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal. Wajib bagi akal
untuk menyakini bahwa apa yang dimaksud bukanlah arti harfiyah;akal kemudian mempunyai
kebebasan memberi intrepretasi kepada wahyu atau menyerahkan maksud sebenarnya
dari wahyu bersangkutan kepada Allah.
3.Perbedaan
Manusia dari Segi Akal
Karena pentingnya kedudukan akal
dalam pendapat Muhammad Abduh,perbedaan antara manusia baginya bukan lagi
ditekankan pada ketinggian taqwa,tetapi pada kekuatan akal. Tauhid,dalam
penjelasannya,membuat manusia hamba hanya bagi Allah dan bebas dari perbudakan
lain dalam bentuk apa saja;manusia semuanya sama,tidak ada perbedaan antara
meraka kecuali dalam amal,dan tidak ada yang lebih mulia,kecuali karena
ketinggian akal dan pengetahuan,dan yang mendekatkan manusia kepada Tuhan
hanyalah kesucian akal dari keraguan.
4.Kekuatan
Akal dalam Sistem Teologinya
a.
Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
b.
Mengetahui adanya hidup diakhirat;
c.
Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa diakhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dan berbuat baik,sedang kesengsaraannya bergantung pada tidak
mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat;
d.
Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan;
e.
Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat;
f.
Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Kekuatan akal dalam mengetahui kedua
dasar agama,Tuhan dan kebaikan serta kejahatan tersebut diatas,sebenarnya telah
dilakukan oleh aliran-aliran teologi yang timbul dizaman keemasan islam. Kedua
masalah pokok itu dipecah menjadi empat,yaitu:
1.
Mengetahui Tuhan
2.
Mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan
3.
Mengetahui kebaikan dan kejahatan
4.
Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan
jahat.
Kaum Mu’tazilah
dan Muhammad Abduh mempunyai persamaan pendapat bahwa dalam keempat masalah
pokok itu,wahyu tak mempunyai fungsi.
DASAR KEYAKINAN
DAN PENDAPAT AKAL
Fanatik percaya
dan fanatik tidak percaya.
Banyak diantara
manusia yang telah tergila-gila,fanatik percaya,sebelum mempergunakan akalatau
fikirannya;dan ada juga yang tergila-gila atau fanatik tidak percaya,sebelum
mengetahui dan memikirkan alasan-alasan dan dalil-dalil atau bukti-buktinya.
Kedua-duanya itu tercela khususnya
dalam soal kepercayaan,karena yang sedemikian itu akan mematikan otak,dan tidak
membawa manusia kearah kemajuan dan kesempurnaan.
Orang yang gila yang tak
percaya,meskipun ada bukti yang terang- padahal kalau ia memikirkannya,mesti
akan masuk diakalnya- tetap juga ia tidak mau percaya. Bahkan bukti-bukti
itu,masih diselidiki lagi,dengan maksud mencari apa yang tersembunyi dibalik
bukti yang sudah terang itu.
Agama islam,amat mencela
kedua-duanya:
Dalam Al-Qur’an Surat Ad-Dzariyat:20-21
disebutkan sebagai berikut:”Dan dibumi dan (juga) pada dirimu sendiri itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang yakin. Maka apakah
kamu tiada memperhatikan?”
HUKUM AKAL (‘AQLI)
Apabila kita menemuka sesuatu keterangan,maka
akal kita tentu akan menerima yang salah satu pendapat atau keputusan hukum sebagai berikut:
a.
Membenarkan dan mempercayainya
b.
Mengingkari dan tidak mempercayainya
c.
Memungkinkan,artinya boleh jadi dan tidak boleh jadi.
Putusan akal atau hukum akal:
a.
Yang pertama itu disebut wajib (wajib ‘aqly)
b.
Yang kedua disebut muhal atau mustahil
c.
Yang ketiga disebut jaiz atau mungkin (mungkin jadi dan mungkin
tidak)
REFRENSI:
1.
KH.I.Zarkasyi;usuluddin (‘Aqa’id) ‘ala mazdhab as-sunnah
wal-jamaah. (Gontor:Trimurti,1989)
2.
Harun Nasution;Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah
(Jakarta; Universitas Indonesia (UI-Press),1987)
3.
Ilhamuddin;Pemikiran kalam al-Baqillani,studi tentang persamaan dan
perbedaanya dengan Al-Asy’ari (Yogyakarta;Tiara Wacana Yogya,1997)
4.
Harun Nasution;Teologi islam,aliran sejarah analisis perbandingan,
(Jakarta;Universitas Indonesia (UIP) UI-Press,2008)
5.
Harun Nasution;Kedudukan akal dalam pemikiran teologi rasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar